Berpikir perihal proses penciptaan Bumi tidak sebagai kreasi
ajaib Tuhan YME, saya akui memang mengasyikkan. Maka argumen jika manusia sebagai
hasil percobaan rekayasa genetika alien, serta argumen yang mengatakan jika Big
Bang dan Black Hole adalah proses penciptaan alam semesta yang berulang, sebisa
mungkin selalu saya cerna dan pikir keras-keras tentangnya.
Kini hadir argumen baru yang menurut saya tidak kalah
menarik. “Kita, manusia hidup didalam dunia simulasi”, setidaknya seperti itu
premis dari argumen tersebut. Saya tidak membicarakan simulasinya Jean Baudrillard,
argumen yang dikembangkan oleh filsuf Oxford University, Nick Bostrom ini tidak
hanya bicara dalam tatanan abstrak. Secara harfiah kita memang hidup di dunia
simulasi. Pikirkan tentang game The Sims, kitalah karakter The Sims tersebut.
Argumen yang juga diamini oleh bos Tesla Motors, Elon Musk
ini berangkat dari pandangan kian pesatnya kemajuan teknologi komputer. Dalam
video artikel yang dirilis Vox (bisa kalian lihat diatas noh), Musk berujar jika perkembangan komputer 40 tahun lalu
diawali dengan game “Pong”, 30 tahun setelah “Pong”, kita mengenal game
simulasi “The Sims”, sekarang dan tahun-tahun berikut kita sudah masuk kedalam
dunia virtual reality, photorealistic 3D, dan game simulasi
yang lebih maju tiap tahunnya.
Asumsikan jika pola perkembangan teknologi komputer akan
terus seperti itu, membaik tiap tahunnya. Maka akan ada saat dimana
perkembangan teknologi stagnan dan tidak berkembang lagi, mungkin bisa
disebabkan oleh bencana besar, menjadikan peradaban musnah seketika. Ini skenario
pertama.
Skenario kedua adalah peradaban yang terus maju hingga kita
memiliki kemampuan untuk mensimulasikan dunia fisik kita, yang akhirnya kita
mensimulasikan diri kita sendiri. Melalui pendekatan komputasi posthuman,
Bostrom berasumsi jika manusia mampu menciptakan komputer quantum sebesar gula
kubus yang akan menjadi sinapse otak manusia. Sinapse-sinapse simulasi tersebut
akan dikirim kesebuah planet, menjadikan planet tersebut komputer yang memproduksi dunia simulasi secara otomatis.
Hal tersebut melahirkan bermilyar-milyar dunia simulasi yang
tidak bisa dibedakan satu sama lainnya. Menurut Vox, argumen tersebut mungkin
saja menjadikan dunia yang kini kita tinggali juga merupakan simulasi. Berkaca dari asumsi Bostrom dengan apa yang dia sebut sebagai ancestor simulation, atau para manusia
terdahulu yang telah mencapai tahap komputasi posthuman dan akhirnya mampu
menciptakan dunia simulasi untuk kita tinggali.
Tetapi jika berpikir skeptis, Bostrom sendiri mengatakan
jika komputer quantum (untuk teknologi kita, bukan dunia simulasi yang lain)
secara praktek memang belum bisa diciptakan. Jadi meskipun (sayangnya) argumen
Bostrom masih bersifat spekulatif, dia melihat ada sisi teoretikal dari
argumennya. Yakni sebagai stimulus untuk memformulasikan pertanyaan metodologis
dan metafisis mengenai konsep agama tradisional, yang jika dilihat melalui
kacamata dunia simulasi, Tuhan dianggap sebagai “makhluk lebih tinggi” yang
menciptakan “beberapa versi dari kita”.
Masuk akal enggak??
Ref:
Bostrom, Nick. "Are You Living In A Computer
Simulation?". Philosophical Quarterly, 2003: 243-255.
Comments
Post a Comment