Membaca artikel duniaku.net berjudul “5 Alasan Kenapa Kimi no Na wa Layak Disebut Sebagai Film Animasi Terbaik Mengalahkan Spirited Away”
membuat saya terpicu. Saya tentu telah menonton keduanya, dan saya mengakui
jika keduanya; Spirited Away dan Kimi no Na wa merupakan bagian terbaik
yang pernah hadir dalam perkembangan industri animasi Jepang.
Namun ketika ada artikel yang coba membanding-bandingkan dua
film tersebut, yang kini dilakukan oleh salah satu media online berpengaruh lengkap
dengan judul yang tendensius, mau tidak mau saya harus menulis sebuah pembelaan,
bahwa keduanya tidak bisa dibandingkan dan keduanya merupakan karya terbaik
yang pernah ada. Ini alasannya.
Cerita yang menarik.
(Google Images)
Didalam artikelnya, penulis berargumen jika Kimi no Na wa
merupakan film animasi terbaik karena memiliki alur cerita unik dan menarik.
Dia tidak menjelaskan kenapa film tersebut unik atau menarik, tapi dalam
paragraf selanjutnya tertulis jika dalam sinopsis yang penulis kemukakan,
cerita Kimi no Na wa berubah rumit
ketika tubuh kedua karakter utama sering bertukar ketika mereka sedang tidur.
Melalui tulisan tersebut, saya bisa mengambil simpulan bahwa
penulis artikel melihat nilai keunikan Kimi
no Na wa ada didalam proses bertukar kedua karakter tersebut, serta
ketidakbiasaan yang terjadi ketika mereka beraktivitas didalam tubuh yang sama
sekali asing.
Sayangnya, proses itu bukanlah hal yang sama sekali unik
didalam industri animasi Jepang, bahkan proses tersebut sudah menjadi subgenre
tersendiri didalam anime yang populer dengan istilah Body Swap. Subgenre
tersebut mengakar dari genre Gender Bender yang jika saya tarik perkembangannya
circa 1980-1990 – mengutip pernyataan Susan J. Napier – hadir sebagai bentuk fantasi transeksualitas dalam wujud
misidentifikasi gender, tentu saja salah satu yang lekat dalam ingatan adalah Ranma ½.
Sangat disayangkan penulis artikel hanya menggali nilai
kekuatan Kimi no Na wa berdasarkan plot
besar Body Swap, karena menurut saya Kimi
no Na wa memiliki potensi lebih, salah satu yang bisa digali adalah
kehidupan Taki dan Mitsuha yang divisualisasikan Shinkai dalam bentuk-bentuk
kontradiktif, pria-wanita, modern-tradisional, kontemporer-konservatif, serta
relasi didalamnya, menurut saya akan lebih “seksi” untuk dibahas.
Penerus Hayao
Miyazaki.
Saya mengakui jika Makoto Shinkai memang pantas disebut
sebagai penerus Hayao Miyazaki. Keduanya menurut saya, merupakan animator yang
revolusioner pada masanya. Namun jika penulis artikel bermaksud (secara
eksplisit) untuk membandingkan keduanya, saya rasa tidak mungkin karena keduanya
tidaklah apple to apple. Miyazaki dan
Shinkai hadir dalam style yang
berbeda.
Miyazaki merupakan animator yang masih memegang teguh
teknik-teknik animasi tradisional. Maka dari background dan karakter, Miyazaki menggambarnya tekun dengan
tangan, frame per frame sehingga tercipta sekuens yang dia inginkan.
Sedangkan Shinkai merupakan animator modern yang fondasi
karirnya dibangun berdasarkan teknik digital
rendering, khususnya untuk background.
Dia banyak memotret lanskap-lanskap kota, menaruhnya kedalam komputer untuk
diubah menjadi visualitas yang sesuai dengan film yang dia inginkan.
Teknik berbeda menghasilkan nuansa berbeda. Sampai saat ini,
tidak ada dunia khayalan yang mampu mengalahkan visualitas Hayao Miyazaki didalam
film-filmnya. Menontonnya merupakan sebuah perjalanan ke dunia yang baru; dunia
yang mendebarkan, penuh emosi, kejutan, keanehan, dan kesenangan, bercampur
dalam sebuah harmoni keindahan.
Sedangkan Makoto Shinkai disisi yang lain adalah animator
yang mampu menangkap sebuah keindahan, bahkan didalam kehidupan sehari-hari
manusia. Pendekatan realis yang hadir melalui film-filmnya menimbulkan nuansa
kedekatan jika cerita didalam film-filmnya memang benar-benar terjadi disekitar
kita.
***
Sekian gundah gulana saya, terima kasih.
Comments
Post a Comment