Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2017

Potret Kelas Menengah (Indonesia) dalam Serial Animasi Doraemon

Ingatan pertama saya setelah lahir di dunia adalah bangun tidur di kamar ibu saya yang luas, berjalan ke ruang tamu, duduk dan menonton serial animasi Doraemon di RCTI. Tidaklah berlebihan jika saya menyatakan ini, “anak Indonesia yang menonton tv, pasti mengenal siapa itu Doraemon”, robot kucing dari abad ke-22 yang mampu mengeluarkan alat ajaib dari kantongnya.  Saya – dan mungkin mayoritas anak Indonesia ketika itu sering membayangkan memiliki sahabat seperti Doraemon, semua masalah – dengan teknologinya – bisa ia atasi, Doraemon mendobrak ruang-ruang imajinatif yang sepertinya tidak akan bisa dituju; Planet Liliput, Zaman Dinosaurus, The Birth Of Japan , Planet Kaleng, Planet Tumbuhan, Planet Binatang, Mechatopia, sampai Kereta Antar Bintang adalah sebagian ruang imajinatif yang mampu ia kunjungi bersama Nobita, Shizuka, Jaian ( sic ), dan Suneo. Ada tesis menarik dari Sara Catherine Osanton, Universitas Toronto. Terkait dengan perjalanan ruang yang dilakukan Doraemon

Perempuan SMA dalam “Nage Kissu de Uchiotose”

*Dengarkan lagunya untuk pengalaman yang lebih imersif Ketika pertama kali mendengarnya, saya pikir “Nage Kissu De Uchiotose” adalah lagu yang ditujukan langsung (direct) kepada fans, seperti ‘jatuhkan’ fans ‘dengan kiss-bye’ dari idolanya . Namun setelah saya telusuri lagi, lagu ini ternyata menghadirkan performa identitas gender  dari perempuan SMA dalam mencintai lelaki di sekolahnya. Berikut adalah analisis serampangan saya tentang lirik lagu “Nage Kissu De Uchi Otose” atau “Jatuhkan dengan Kiss-Bye!” dari JKT48. Berikut liriknya; sedang mengincar semua anak gadis seluruh sekolah Karena lirik ini adalah hasil translasi langsung dari Jepang ke Indonesia, struktur kalimatnya sedikit berubah, maka dalam lirik ini yang terjadi adalah, “seluruh anak gadis di sekolah sedang mengincar” sesuatu yang belum teridentifikasi. kakak kelas dan adik kelas juga serta teman sekelas warna matanya berbeda semuanya saingan, yay! Penekanan lebih lanjut soal “semua anak ga

Romantismo

Kenangan saya tentang 90-an itu beragam, namun tidak pernah tergambar secara jelas. Saya ingat bagaimana setiap sore rumah saya didatangi teman-teman, mereka berteriak “Pa-ujaan! Pa-ujaan!” dengan koor dan intonasi yang khas, mengajak saya untuk bermain bola di tanah merah yang kini sudah menjadi perumahan. Terkadang saya keluar, terkadang koor teman-teman dibalas oleh teriakan Mamah, “Fauzan-nya enggak boleh main!”. Alhasil saya hanya bisa menonton kartun sore yang disiarkan di program tv, atau membaca komik sebelum komik tersebut disita/dibakar, atau bermain PS sebelum konsol tersebut disembunyikan, hanya karena nilai rapot saya jeblok, atau saya bolos tadarus. “Hmm! Hmm! Terus! Terus! Baca komik terus!” setidaknya itulah peringatan Mamah yang masih terngiang, meski blio menyuruh saya untuk membaca komik, saya tahu jika yang dia maksud adalah sebaliknya. Pun dengan main malam, saya hanya dibolehkan main sampai jam 8 saja, lebih dari itu pintu dikunci dari dalam.  Namun

Surfing kuy

Setiap anak muda kini punya kegiatan keren setiap harinya, berselancar di internet. Berselancar di pantai itu sudah ketinggalan zaman! Selain buat kulit hitam, laut kini bukan lagi destinasi yang menarik.. selain buat foto-foto. Kamu pakai celana Quiksilver dan baju Planet Surf, duduk didalam bilik 34 area smoking room Luxury, selamat kamu adalah peselancar hebat. Loh , kamu pikir saya bukan peselancar juga? Jam terbang saya sudah tinggi. Saya betah duduk hampir 5 jam lamanya hanya untuk berselancar di internet, apalagi Youtube begitu mengerti saya. Antar-muka Youtube memungkinkan saya untuk terus berselancar, jauh, menjauh, seakan tanpa tujuan. Saya selalu memulai perselancaran saya dari video-video musik, “loh ini lupin the third ada konser ensemble jazznya”, “loh apa ini, musik-musik tema lupin the third punya Yuji Ohno kok enak-enak?”, “lah anime apa ini, kok OP nya bagus”, “ KOBURAAAA.. missing u truee”, “ waini 100 OP anime terbaik sepanjang masa, ada favorit saya ngg

Post-Apokaliptik

Tidak banyak orang yang membayangkan masa depan dalam bentuk utopia. Pepohonan hijau, langit yang biru hingga udara bersih tidak ubahnya dongeng tentang surga ketika manusia membayangkan seperti apa masa depan nantinya. Jika saya cermati, produk-produk kultural masyarakat selalu mempersepsikan dunia dalam satu pandangan, distopia – lebih lanjut post-apokaliptik. Apa sebenarnya post-apokaliptik itu? Term ini merupakan subgenre dalam science fiction , merujuk pada masa setelah terjadinya peristiwa katastropik yang ditandai dengan runtuhnya peradaban berteknologi maju, sehingga memunculkan peradaban baru yang mencoba untuk bertahan hidup. Dari berbagai macam produk kultural yang berbicara tentang post-apokaliptik, rujukan saya selalu kepada dua negara; Amerika Serikat dan Jepang. Keduanya merupakan negara superpower yang telah menjadikan teknologi sebagai bagian dari peradaban mereka. Jepang melihat post-apokaliptik dalam bentuk yang khas, nuklir. Sebagai satu-satunya negara

Cerita Serem Dalam: Angkot Setan

Andrea pulang dengan langkah lunglai ditengah gemerlapnya kota Jakarta, sesekali ia menyeka keringat yang menetes di pelipis dengan lengan, blazer dan blus yang menempel di tubuh pun begitu ingin ia tanggalkan, Andrea ingin cepat sampai dirumahnya.                 “Ah, tauk gini gue enggak ikut makan-makan di Kemang sama anak-anak, mana batere hape gua abis lagi,” ujarnya komat-kamit sambil menunggu angkot jurusan Ciputat-Pamulang 2 untuk lewat. Kali ini Andrea tidak begitu sial, ditengah bangke -nya kehidupan ia hari ini, setidaknya kini Andrea bisa melanjutkan sumpah serapah yang ia lakukan terus ketika berjalan, namun kali ini tidak dalam hati melainkan dengan suara lantang. “Tai.. tai.. mana tadi Pak Bayu deketin gue melulu lagi pas makan, kagak malu apa itu tua bangka anaknya udah dua??” komentarnya beriringan dengan suara hembusan angin. Andrea berusaha untuk terus berbicara. Dia tahu, jika terdiam, keheningan malam ini akan membuat ia merasa sendirian, dan kin

Damn Fine Coffee

Le Pure Café tak pernah sepi. Cafe sederhana yang berada di persimpangan jalan Impasse Franchemont dan Rue Jean Mace ini selalu dipenuhi dengan perbincangan hangat para pelancong, daur baur menjadi satu di udara, sambil mereka menikmati kopi yang disuguhkan. Namun kali ini suasana cafe sedikit berbeda, tidak ada kebisingan orang bercakap-cakap, hanya ada sedikit bisikan dan gumaman para pengunjung, bersatu dengan raut ketegangan barista dan pelayan ketika melayani seorang pria muda bernama Samid. Tegang itu beralasan, hampir semua penikmat kopi di dunia tahu siapa itu Samid, semenjak penelitiannya soal biji kopi rampung, karirnya sebagai connoisseur kopi langsung melesat tajam, menjadikan dia sebagai satu-satunya ahli perkopian paling berpengaruh di dunia. Ketegasannya soal kopi pun tidak main-main, dalam ranah industri, Samid vokal mengkritik FAO soal “ blood coffee ”, perkebunan kopi di Amerika Selatan yang mengekploitasi petani kopi untuk bekerja, bahkan tanpa upah u

The Art of Procrastination by Tim Urban

Menjadi pemateri dalam panel presentasi sekaliber TED adalah hal yang saya impikan, apalagi jika saya mampu membawa materi remeh-temeh, ketika dibandingkan dengan materi Stephen Hawking atau Richard P. Feynman, ke sebuah panel yang berisi orang-orang penting, dan mereka bertepuk tangan, impian indah tersebut pernah terjadi dan dilakukan oleh pria bernama Tim Urban. Tim ini orang yang sangat selow , berdiri diatas panggung amphitheatre disaksikan pria-pria tua dengan jas dan kemeja, dia pede berkelakar dan membawakan presentasinya hanya dalam balutan kaus oblong. Materi yang ia bawakan pun tidak jauh-jauh dari imej yang ditampilkan diatas panggung, “Inside the mind of a master procrastinator”. Mungkin mba Neli yang ingin mendalami procrastination bisa mencontoh orang ini. Dia berteori soal procrastinate , kegiatan menunda-nunda pekerjaan yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Cerita terbaik dalam materi ini adalah ketika dia ditugaskan untuk membuat senior thesis 90

seperti rumput

Ketika pergi menuju Depot Kudapan Kasuari dari kampus, pandangan mata saya selalu tertuju kepada pohon beringin yang berdiri kokoh di areal hutan Fakultas Biologi. Akar gantungnya yang kira-kira sebesar tangan manusia ini sudah mengeras, menempel erat dan menutupi tubuh pohon, menjadikan tubuh tersebut sudah tidak terlihat lagi. Saya kira, pohon yang sudah berumur ratusan tahun ini, adalah ikon nyata dari falsafah utama UGM yang selalu digaungkan, baik oleh civitas UGM atau tema BBKU ini sendiri, “mengakar kuat, menjulang tinggi.” Saya punya penawaran,  bagaimana jika kita mengganti falsafah tersebut, dengan sesuatu yang lebih kekinian, sesuatu yang lebih dirasa cocok untuk menyongsong era milenial ini #halah. Seperti pohon beringin, seperti itu juga falsafah ini telah bekerja ratusan tahun lamanya, pohon beringin berdiri kokoh, angker dan tidak tersentuh modernitas kota Jogja yang kian bising. Dalam pemaparan mahasiswa baru ketika itu, “mengakar kuat” haruslah menjadika

Mempertanyakan Kembali Keberadaan Wiabu

Banyak yang bertanya kepada saya; Jan, otaku itu apa sih? Jan, wota itu apa sih? Jan, wiabu itu apa sih? Jan, kok kamu ganteng sih? Pertanyaan tersebut sudah sering saya dengar, dan sebenarnya saya males untuk terus menjawabnya. Namun untuk urusan yang satu ini, wiabu adalah terminologi yang masih dan harus diperdebatkan. Wiabu adalah kata serapan (tidak resmi) dari term weaboo yang muncul bersamaan dengan berbunganya budaya internet circa 2005, 4Chan sebagai salah satu situs anonim terbesar (selain Reddit) berperan aktif untuk menyebarkan istilah ini. Weaboo sendiri adalah respon dari istilah wapanese ( Wannabe Japanese) , slur rasial yang ditujukan untuk orang (seringkali netizen) kulit putih yang terobsesi dengan budaya Jepang. Weaboo sendiri mengalami perluasan makna, menurut Urban Dictionary, weaboo adalah: “A negative term directed to anyone overly obsessed with Japanese culture to the point where they become annoying.Used frequently on the image boards of   4c

Surat dari Masa Depan

Dear diriku yang masih berkuliah di UGM, Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu sedang sibuk, sudah mulai masuk jadwal UTS bukan? Bahan bacaan, tugas-tugas juga sudah mulai bermunculan, BBKU mini juga sedang bergulir dan kamu tidak mau ketinggalan, aku harap kamu bisa mengerjakannya dengan tuntas. Aku tahu banyak urusan sosial yang tidak bisa kamu datangi di Jakarta sana, tetapi seperti prinsip pertukaran setara Edward Elric, aku rasa ini adalah pengorbanan yang setimpal. Aku sekarang sedang ada di Jepang, melewati musim dingin di Jepang selalu menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan bagiku, kamu selalu berpikir jika hidup di Indonesia panas sehingga kamu selalu berkeringat, namun ketika kamu hidup disini, dengan suhu rata-rata bisa mencapai 10° celcius, kamu tidak bisa bergerak, kamu hanya ingin bermalas-malasan dan otakmu tidak bisa bekerja, mungkin ini salah satu alasan mengapa orang Jepang pernah (dan masih) menghamba matahari, karena mereka selalu m

Me, You, and Mirror Between Us

Minggu (2/4) kemarin adalah hari yang menyenangkan bagi saya, alasannya dua, karena hari itu saya berulang tahun dan saya dihadiahi sebuah buku oleh kawan yang sepertinya mengerti (atau ingin terus menjerumuskan) kesukaan saya. Buku tersebut adalah “Laptime JKT48”, terbitan terbaru 2017, yang dia yakini mampu menjadi referensi utama saya dalam menelisik per-48-an di Indonesia. Melihat covernya tentu saya penasaran, “mungkinkah ada info-info berharga tentang JKT48 yang tidak bisa diketemukan di internet, ada disini?” Setelah saya membacanya, saya sedikit kecewa. Buku yang ditulis awak Jawa Pos ini keseluruhan hanya berisi trajektori perkembangan JKT48 dari 2011-2016, tidak ada yang benar-benar baru kawan, isinya hanya berupa kompilasi-kompilasi artikel metropolitan Jawa Pos yang membahas JKT48; disusun dalam periode waktu. Yang menyenangkan dari buku ini hanyalah foto-foto dalam teater yang eksklusif dan foto Haruka yang cool serta sporty ketika bersepeda dari Jakarta ke Sur