(Myanimelist.net |
Keberhasilan penonton untuk tenggelam dalam film tidak
bisa lepas dari tangan terampil sutradara ketika mengemas karya visual mereka.
Dari situ, pendekatan teknis macam komposisi, golden ratio, warna, musik latar, cut-to-cut transition,
hingga dialog antar aktor menjadi mantra yang mampu membuat para penonton
terjun lebih dalam lagi.
Buat saya, film anime merupakan satu dari sekian genre yang
sukses membuat saya menyelam, berpindah ke pribadi satu dan lainnya (bukan Taat
Pribadi). Nama Hayao Miyazaki tentulah memiliki tempat tersendiri dalam
dunia-dunia favorit saya, tapi saya tidak akan membicarakan beliau, yang kali
ini ingin saya angkat adalah sutradara bernama Mamoru Hosoda.
Dalam ketiga filmnya, “The Girl Who Leapt Through Time”,
“Summer Wars”, dan “Wolf Children: Ame And Yuki”, Hosoda menciptakan sebuah
karya melalui dialog antar karakter, perpaduan visual-musik, dan yang paling
berkesan serta akan menjadi topik bahasan saya, pilhannya dalam membingkai
suatu adegan menjadi cara sehingga filmnya menjadi dunia yang layak ditinggali.
Untuk melakukan hal tersebut, Hosoda lebih menekankan kepada
dialog dengan menggunakan teknik pengambilan gambar full shot atau medium
untuk karakter tertentu didalam cerita. Dalam pengambilan adegan tersebut,
sangat jarang Hosoda melakukan dollying
atau zoom-in; pergerakan kamera yang
mampu merusak jalannya dialog (meskipun sebenarnya dalam produksi anime, tidak
ada kamera yang digunakan, semua hanya manipulasi digital).
Pilihannya ini juga sering dilakukan oleh David Fincher
sutradara “Zodiac”. Fincher banyak menempatkan kamera dalam keadaan solid dan
statis, bahkan sampai kepada tahap kamera yang omniscient – kita tidak tahu kamera tersebut digerakkan manusia,
mesin, atau CGI.
Bagi Fincher informasi sangatlah penting dan dia tahu
penonton mengetahuinya. Maka dia sangat berhati-hati ketika melakukan extreme close-up atau zoom-in dalam setiap adegannya karena
penonton akan berpikir, “lihat ini, adegan ini menyajikan informasi penting”.
Hal itu yang juga dilakukan Hosoda.
Hosoda tidak serta-merta melakukan pergerakan kamera
sehingga penonton bisa dengan mudah menebak apa informasi penting yang akan
diberikan, sebaliknya Hosoda menempatkan kamera dengan statis sehingga dialog
mampu mengalir lebih lancar. Penonton seakan tidak menyadari penekanan tersebut
namun informasi yang diberikan akan
tersimpan dengan baik.
Dalam salah satu sekuens “Summer Wars” misalnya, Natsuki
yang datang ke ruangan klub Kenji dan temannya dihadirkan dalam teknik foreground-background; badan memunggungi
kamera dengan Kenji dan temannya menghadap arah sebaliknya.
Saat itu Natsuki meminta bantuan satu diantara mereka untuk
melakukan suatu pekerjaan, dalam sekuens ini kita bisa melihat ekspresi Kenji
dan temannya, dengan badan Natsuki yang masih memunggungi kamera, namun ketika dialog berlanjut dengan Natsuki menyatakan kekecewaan karena Kenji dan temannya
tidak ada yang bisa membantu, Natsuki mulai membalikkan badannya.
Disini tampilnya ekspresi ketiga karakter tersebut serta
perubahan-perubahan mereka menjadikan penonton bisa menyerap banyak informasi
sekaligus, salah satunya adalah peran penting Natsuki dalam peta besar cerita.
Selain itu Hosoda juga sering menempatkan salah satu karakternya
secara ekslusif; dalam artian berada ditengah frame, bahkan ketika melakukan
dialog dengan karakter lain. Hosoda menyiasatinya dengan menjadikan kamera
sebagai sudut pandang orang kedua didalam cerita, teknik tersebut; yang juga
sering dipakai Wes Anderson menjadikan karakter seakan berbicara ke arah kamera
– atau lebih tepatnya anda.
Tidak hanya menjadikan karakter tersebut sebagai pusat
perhatian, kedekatan personal yang terjalin diantara penonton dan karakter juga
makin menguat lantaran penonton dapat mencerna informasi tanpa adanya hambatan
yang berarti.
Teknik tersebut bisa kamu lihat didalam salah satu sekuens “Wolf
Children: Ame and Yuki”, ketika Yuki mulai mengetahui adanya sekolah, dia
mulai merengek kepada ibunya untuk minta disekolahkan. Saat situ, kamera
ditampilkan sebagai ibunya, high angle
menyorot Yuki – solid ketika Yuki mulai merengek, memutari ruangan seraya
bertransformasi menjadi serigala.
Sekuens tersebut tidak hanya bersifat personal;
karakter-penonton, lebih dari itu Hosoda dengan efisien memberi banyak informasi
tentang karakter Yuki hanya dengan satu teknik pengambilan gambar, tanpa
transisi, hanya satu sekuens saja.
Biarpun Hosoda membangun karakter penyutradaraannya melalui
teknik pengambilan gambar yang statis dan simpel, dia tidak melupakan elemen pergerakan
kamera; berbeda dengan Fincher yang hati-hati dalam memberikan informasi,
permainan Hosoda soal ini bagi saya menjadi isyarat khusus dalam film-filmnya,
yaitu pernyataan emosional.
Dari ketiga film Hosoda yang telah saya sebutkan, semua
pergerakan kamera yang ada didalamnya terasa brilian, mulai dari slowly zoom-in dunia virtual OZ dalam “Summer
Wars” yang luas dan berwarna, dolly
left-right sekuens “Wolf Children” yang menggambarkan perkembangan
kepribadian Yuki dan Ame di sekolah serta momen terpisahnya mereka, hingga “perlombaan”
lari yang dilakukan Makoto bersama kamera dalam “The Girl Who Leapt Through
Time” yang memvisualisasikan sifat keras kepala dan semangat mampu menjadi pernyataan
emosional dari cerita dan masing-masing karakter yang sukses terwakili oleh
kamera.
Bagi Hosoda, cerita yang baik tidak perlu dibawakan dengan berlebihan, maka kesederhanaan dan efisiensi informasi hadir sebagai kekuatan utama. Pernyataan emosional hanya sebagai pelengkap, tidak perlu banyak namun cukup menjadi penyeimbang sebuah cerita agar tercipta harmoni dan keseimbangan didalamnya.
Bagi Hosoda, cerita yang baik tidak perlu dibawakan dengan berlebihan, maka kesederhanaan dan efisiensi informasi hadir sebagai kekuatan utama. Pernyataan emosional hanya sebagai pelengkap, tidak perlu banyak namun cukup menjadi penyeimbang sebuah cerita agar tercipta harmoni dan keseimbangan didalamnya.
(MFA)
Comments
Post a Comment