Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Writer’s Pick: Our Great Local Artists

Ditengah derasnya arus globalisasi, banyak produk-produk lokal yang mau-ngga-mau harus bersaing dengan produk luar negeri, termasuk karya grafis. Dibandingkan luar negeri, karya grafis lokal memang belum banyak diapresiasi, entah dari marketnya yang belum ada maupun dari fasilitas penunjangnya yang belum lengkap, sukses ngebuat artis-artis lokal ini jadi underdog . Tapi jangan salah, meskipun dilabeli underdog , beberapa karya-karya mereka bisa diacungi jempol dan ngga kalah juga sama karya grafis internasional.  Di bawah ini ada beberapa artis-artis lokal yang menurut saya memiliki karya grafis yang layak masuk Writer’s Pick. Check this out ! 1.  Erwin Wijaya & Aulia Effendi (GOORM) Sebagai usaha kolektif yang mengerjakan proyek-proyek grafis dari band garang macam ((AUMAN)), GOORM terdiri dari dua orang, Erwin Wijaya selaku layout , tipografi, dan digital finishing , sedangkan Aulia Effendi bertanggung jawab atas manual hand drawing dan ink . Berikut adalah karya

MOVIE REVIEW – Anohana The Movie: The Flower We Saw That Day (2013)

Rating: 7.5 contain with spoiler, read it wisely! Sebagai sidestory dari serial berjudul sama yang pernah melejit pada 2011, Anohana The Movie bercerita tentang kisah selanjutnya dari Jintan (Yumi Irino) dan kawan-kawannya setelah ditinggal oleh Menma (Kayano Ai). Selain diproduksi oleh A-1 Pictures – perusahaan yang banyak membidani lahirnya film bergenre slice of life , Anohana The Movie juga disokong oleh orang-orang berpengalaman macam Tatsuyuki Nagai sebagai sutradara, Mari Okada sebagai penulis skenario, dan REMEDIOS sebagai komposer yang mengisi BGM dari film ini.  Dengan titel “ A Letter To Menma ”, Jintan bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam grup Super Peace Busters memutuskan untuk membalas surat dari roh Menma yang pernah mengunjungi mereka.  Melalui surat tersebut, Jintan, bersama Anaru (Haruka Tomatsu), Yukiatsu (Takahiro Sakurai), Tsuruko (Hayami Saori), dan Poppo (Takayuki Kondou) coba membangkitkan kembali kenangan mereka tentang Menma dan pr

Imajinasi Berbayar: Menakar Idoling Dalam Perspektif Jean Baudrillard

Dalam era globalisasi, teknologi menjadi barang penting dalam kehidupan manusia, bahkan sejajar dengan sandang, pangan, dan papan. Hal tersebut telah diramalkan oleh Marshall McLuhan dalam slogannya yang terkenal, “ global village ”. McLuhan mendefinisikan peradaban manusia sebagai entitas yang sempit karena terhubungnya semua manusia melalu jaringan teknologi. Hal itulah yang membuat kita hidup dalam percepatan, teknologi dianggap sebagai perpanjangan badan manusia yang membantu manusia memudahkan tiap aspek kehidupannya. McLuhan jelas berpendapat jika era ini merupakan kedigdayaan manusia dalam suatu transisi modern untuk menaklukkan batasan ruang dan waktu. Tetapi tidak menurut pandangan konsumerisme, Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis menyatakan jika pandangan McLuhan tentang implikasi modernitas akan mengakibatkan munculnya ekses negatif sebuah peradaban. Menurut Baudrillard teknologi tidak hanya menjadi perpanjangan badan saja, tetapi juga membentuk sebuah realitas

BOOK REVIEW: V/A – Memobilisasi Kemuakan

“Bagiku, jika dulu golput adalah perlawanan, sekarang golput adalah ketidak-pedulian, karena membiarkan kejahatan kembali berkuasa.” – Kill The DJ Pernyataan Kill The DJ A.K.A Marzuki Mohammad diatas, kembali membangkitkan pertanyaan masyarakat tentang wacana golput dan relevansinya pada masa kini. Golput saat Orde Baru memang dipakai sebagai alat perlawanan, karena pada era tersebut jelas pemilu yang diadakan adalah fiktif dan manipulatif. Orde Baru sekarang berganti ke era Reformasi, meskipun begitu kenyataan “jika masih banyak yang golput” tetap tidak berubah, golput saat itu memang mewakili kaum muda apatis yang sering dilabeli hipster . Dalam tulisan M. Fajri Siregar di laman jakartabeat.net, hipster bisa diartikan sebagai kaum muda yang tidak bisa ditelisik bentuk preferensinya. Terlepas dari galaunya anak hipster , pada pemilu 2009 angka persentase golput menyentuh titik tertinggi dengan 39%, setelah sebelumnya 8% (1999), dan naik sampai 23% pada 2004. Bahkan Tamrin

Dilema Generasi Transisi

Tidak terlalu segar dalam ingatan, jika 16 tahun lalu terjadi sebuah euforia besar akan runtuhnya sebuah rezim, yang korup, otoritarian, dan militeristik. Wajar saat itu, karena umur saya yang baru menginjak enam tahun, tidak terlalu mengerti, “euforia tentang apa ini sebenarnya?”. Walaupun saya tidak terlalu merasakan kejamnya Orde Baru secara langsung, tetapi saya belajar, saya membaca, juga mendengarkan, bagaimana kisah orang-orang yang hidup pada era tersebut, bercerita lewat buku-buku dan jurnal. Lalu masuk era reformasi, era dimana saya hidup dan dewasa, merasakan secara langsung Reformasi, saat saya hanya menyelami sejarah Orde Baru melalui pandangan orang-orang. Dalam era Reformasi sekarang ini, rasa mual saya terhadap Orde Baru sangat tidak tertahankan, yang paling parah, fakta jika tiang-tiang pancang kekuasaan mereka dibangun dengan politik seksual, “mempersetankan” perempuan komunis, lalu menjadikan 1,5 juta masyarakat Indonesia sebagai tumbal hegemoni mereka selam

Writer’s Pick: Music Speak #1

Okay.. setelah tidak lama menulis karena kesibukan magang dan perayaan jauh sebelum pra kelulusan (skripsi maksudnya), saya akan mencoba membuat sebuah kompilasi, tentang musik-musik yang sedang sering saya dengar, dan pandangan saya tentang musik tersebut. Musik bercerita, dan setiap orang yang mendengarkan musik tertentu pasti memiliki pemaknaan tersendiri tentang musik itu. Banyak yang ingin saya tuangkan, tetapi jika hanya berbentuk curhatan pasti akan terlihat basi dan ngga enak dilihat, jadi biarkan saya yang malu-malu ini, berkeluh-kesah dengan diwakilkan oleh lagu, and then, let the music speak.. 1.          FOUR GET ME A NOTS – Song of The Cloud . Banyak trio band punk yang bisa menggugah selera musik saya, tetapi FOUR GET ME A NOTS mungkin adalah satu-satunya yang melekat, perpaduan suara vokalis wanita dengan harmonisasi masing-masing pentolannya, banyak menenggelamkan diri saya dalam sesi sentimentil, tanpa harus terlihat sedih. Dari semua lagu FOUR GET ME A NOTS

Mimpi

Aku pernah memimpikan langit begitu tinggi Begitu cerah, indah membiru  Aku pernah bermimpi Betapa langit begitu sama Jujur dan tidak berbeda  Aku memimpikan langit yang tinggi Yang sulitnya untukku gapai Aku melihat langit yang begitu tinggi Dari kejauhan Rumah, 17 Mei 2014

Utopia, Negeri Antah Berantah

Nun jauh disana, ada negeri yang katanya sama dengan surga, rakyatnya tidak memakai baju, telanjang tanpa sehelai benang pun menutupi. Di negeri itu, rakyatnya tidak bekerja, mereka tidak mengenal uang, nir-ketamakan. Mereka tidak tamak karena memang tidak memiliki hak kepemilikan atas suatu barang, bahkan untuk bagian tubuh mereka sendiri, mereka tidak memilikinya. Memang, Utopia adalah negara yang selalu diidam-idamkan, katanya. Negeri Utopia sudah bergaung, bahkan sejak abad ketujuh Sebelum Masehi bergulir. Saat itu Hesiodus, sangat mendambakan dirinya untuk bisa pergi ke Utopia. Katanya, “aku sangat mendambakan negara, dimana manusianya tidak memiliki nafsu dina untuk memiliki, tidak ada ‘milikku’ dan ‘milikmu’, semuanya hidup senang dengan adil karena ada cukup barang bagi semua.” Banyak yang mendambakan, atau setidaknya berandai-andai untuk bisa pergi ke sana. Mulai Plato, Socrates, Aristoteles, Thomas Moore, sampai Karl Marx. “Di Utopia tidak ada perang!” Kata P

Team J 2nd Stage “Demi Seseorang” (140322) – First Impression (1)

Setelah absen setahun dalam kancah peridolan Jakarta, khususnya Tim J. Kali ini saya berkesempatan untuk kembali menghadiri teater mereka, dengan tajuk “Demi Seseorang”, setlist terbaru setelah “Aturan Anti Cinta”, pasti akan memberikan aspek yang berbeda. Selalu ada hal yang baru, ataupun hal yang tetap sama, mulai lingkungan, member, fans, sampai setlist yang diberikan. Yuk simak impresi pertama saya! “Kita mulai beranjak dewasa”. Mendapatkan hal yang menyenangkan tentu membuat kita sangat menggebu-gebu, tetapi hal menyenangkan tersebut sudah menjadi bagian dari diri kita, dan mungkin kita sudah terbiasa. Medio 2012 lalu, saat “Pajama Drive” sedang hype-hype nya, euforia fans begitu besar saat mereka menghadiri teater, begitu ramai saat mereka mengantri dan menunggu pengundian bingo. Saat pembacaan bingopun, ada orang yang begitu senang karena nomor bingonya disebut, dan sebaliknya, ada orang yang sangat sedih saat nomor bingonya dilupakan dan masuk terakhir. Kali ini (03