Skip to main content

Pahlawan dalam Diri

Langit terlihat begitu ramai hari ini. Anginnya, terik mataharinya, bergantian memaksa masuki jendela yang kubiarkan terbuka lebar, memperbolehkan angin-angin tersebut menyentuhku halus, mempersilahkan sinar matahari sesekali menyengat kulitku yang tipis.

“Pernahkah kamu, untuk sekali saja, keluar dari kamarmu untuk merasakan dunia luar?” Ujarku pelan.

“Kenapa? Belum pernah membaca breaking the fourth wall dalam cerpen ya?” kali ini dengan nada agak tinggi, kepada para pembaca yang termenung menghadapi pertanyaanku sebelumnya.

“Aku hanya penasaran, apakah keluar dari rumah memang benar-benar menyenangkan..”

Aku sedikit menghela napas, mengendurkan otot-otot tangan yang tegang sembari berdiri, sendiri termenung di bibir jendela kamarku. Bosan, aku kembali duduk di depan meja belajar, tepat disamping kasur berbingkai kayu maple polos, serupa tapi tak sama dengan meja disebelahnya.

Baru saja aku mencoba  tenggelam didalam aktivitasku sehari-hari, ketak-ketik diatas laptop butut yang setia menemani, terdengar ketukan berirama dari arah jendela.

                “Oh, kamu. Bagaimana hari ini?” ucapku memberi salam kepada orang yang berdiri diluar jendela.

                “Ramai. Beberapa kali aku hampir menabrak orang yang melintas, semua seperti terburu-buru, seakan tidak ada lagi kerjaan di dunia ini. Bagaimana hari ini?” ujarnya membalas salamku, sama sopan.

Tanggapan orang tersebut membuatku menyimpulkan senyum. “Tidak ada lagi yang membutuhkan pertolongan, kah?” Cibirku sambil sedikit tertawa.

“Hariku seperti biasanya, kamu pernah mendengar cerita tentang pangeran kerajaan yang jatuh cinta kepada perempuan miskin? Aku ingin menulis cerita tentang itu.”

“Pangeran kerajaan? Apa itu?” Tanya orang tersebut.

“Seseorang yang dilahirkan dari keluarga kaya katanya, ia lahir bersama kemampuan berkuasa atas orang lain.”

Sekarang ganti orang tersebut yang tertawa.

“Terdengar bodoh, lagipula apa arti berkuasa jika kita tidak perlu repot-repot memperjuangkannya. Tapi kelihatannya menarik, darimana kamu dapat kata-kata seperti itu?” Ujarnya mulai mengernyitkan dahi.

“Dari seorang pembaca cerpen ini, ia bilang itu adalah cerita yang sangat populer di negaranya. Aku pikir cerita itu juga akan populer disini,” ujarku sambil kembali mengetik, seakan mempersilahkan orang tersebut untuk segera beranjak.

“Pembaca cerpen ini?? Kamu ngomong apa sih? Sudah aku harus bergegas, masih ada target yang harus kucapai. Tapi segera setelah cerita itu rampung, pastikan aku adalah orang pertama yang kamu beritahu, mari!” ujarnya sambil melambai, pergi menjauh.

                “Ya, mari!” teriakku tanpa mengalihkan pandangan dari laptop, mengetahui jika dia tidak terlihat lagi dari bingkai jendela.

Aku kembali menenggelamkan diri dalam cerita pangeran dan perempuan miskin ini. Hening. Suara gesekan angin dengan jendela berangsur-angsur mulai menghilang, tanda jika langit sudah tidak terlalu ramai lagi, mungkin sudah memasuki tengah hari.

Seakan memastikan, aku kembali beranjak dari kursi tempat aku duduk untuk mengetik, mendekati bibir jendela dan melihat keluar.

                “Panas..” Gumamku sambil menatap langit yang biru.

Segera aku tutup jendela itu untuk menghalangi sinar matahari yang masuk. Sudah cukup hari ini, pertanyaan orang-orang tersebut, lebih baik lain kali aku berbohong saja, pikirku.

                “Ooooi, makan siang sudah siap! Turun sekarang,” tiba-tiba terdengar suara keras yang bersumber dari ibu.

Ajakan ibu untuk makan siang langsung membuat air liurku terbit, perut tiba-tiba bersuara lapar. Tidak perlu menyahut, bergegas aku membuka pintu sebagai tanda iya.

Namun sebelum itu aku berhenti sejenak. “Kamu tahu kan sekarang, hidup dimana setiap orang mempunyai kemampuan super, aku hidup bahagia menjadi orang biasa,” ujarku sembari menuruni tangga ke lantai dasar, untuk bertemu ibu dan masakannya yang sudah pasti enak.


Fin.

Comments

Popular posts from this blog