Seperti puzzle, kepribadian manusia di waktu dewasa merupakan
satu rangkaian keping-keping pengalaman yang terjadi pada masa kecil, entah itu
pengalaman yang kita dapatkan melalui lingkungan sekitar, keluarga, nyata maupun
fiksi, tidak bisa dipungkiri turut membentuk kepribadian kita. Bagi saya
sendiri, 5 karakter fiksi ini lah yang (mungkin) membentuk kepribadian saya
hingga seperti sekarang ini, silahkan.
Toru Naruse – “Harlem
Beat”
Karakter Naruse mungkin sangat formulaic dan bisa berada dalam manga apa saja. Namun menurut saya
Naruse punya kegigihan berbeda dalam menggapai suatu impian, sifatnya yang
polos membuat teman-temannya tidak bisa menolak dan terdorong maju oleh
kegigihan Naruse sendiri. Lalu karena ini manga tentang basket SMU dan saya juga
menyukai basket, Harlem Beat akrab dalam kehidupan saya.
Seijiro Seta – “Rurouni
Kenshin”
Jarang saya mengidolakan tokoh antagonis didalam karya
fiksi, namun ketika saya memiliki tokoh antagonis yang berpengaruh (seperti
Joker dalam The Dark Knight), dia haruslah memiliki sifat yang mendalam, salah
satunya saya lihat dalam diri Seijiro Seta. Ia adalah pendekar pedang yang jenius,
dari luar Seijiro adalah orang yang selalu tersenyum dan pandai menutupi
emosinya, ia selalu berpikir dingin. Namun didalam hati terdalamnya, ia
menyimpan dendam kesumat, kebencian yang pada saatnya tidak bisa diredam dan
akan meledak. Seijiro tidak bisa ditebak.
Lupus – “Lupus”
Saya di masa kecil bukanlah orang yang suka membaca novel,
cepat bosan. Hanya karya Hilman Hariwijaya yang mampu meredam kebosanan
tersebut dan membuat saya tenggelam dalam dunia ngocol Lupus. Yap,
mungkin sekarang ngocol bukanlah kata
yang populer, tapi dahulu ngocol
adalah salah satu cara menjadi keren, dan kekerenan itu ada pada sosok Lupus.
Mengunyah permen karet, rambut berjambul, berteman dengan
manusia ajaib seperti Gusur dan Boim, hingga kisah-kisah lucu yang mereka
hadapi setiap harinya membuat saya mengidolakan sosok Lupus. Ia bukanlah sosok yang
dibilang keren pada masa sekarang, Lupus adalah underclass hero, ia mewakili kaum menengah bawah yang mencoba
menjadi keren ditengah hingar bingar modernisasi Jakarta, dan dia berhasil!
Keren tidak harus membawa mobil atau menjadi ketua OSIS, Lupus bisa membuktikannya
dengan plesetan atau sekadar mengerjai Gusur dan Boim.
Nobi Nobita – “Doraemon”
Mau anime ataupun manganya, Doraemon adalah salah satu franchise pop-culture yang begitu penting bagi kehidupan saya.
Mungkin beberapa orang mengatakan jika Nobita adalah karakter yang komikal, tetapi
bagi saya ia karakter yang manusiawi. Cerita dalam serialnya memang formulaic karena itu mudah ditebak,
namun Nobita mampu mengajarkan makna penting dari konsekuensi.
Semua cerita didalam seri Doraemon akan selalu berhubungan
dengan konsekuensi, Nobita tidak mengerjakan PR karena itu ia dihukum oleh pak
Guru, Nobita lebih suka membaca komik karena itu nilai ulangannya selalu nol,
dan masih banyak konsekuensi yang lain. Meski siklus konsekuensi itu selalu
coba Nobita akali dengan alat-alat ajaib Doraemon, pada akhirnya alat-alat
tersebut juga akan menimbulkan konsekuensi.
Wiro Sableng – “Wiro
Sableng”
Sangat disayangkan Wiro Sableng sebagai intellectual property tidak bisa dikembangkan dan harus hilang
ditelan zaman, padahal menurut saya Wiro Sableng sebagai superhero memiliki
tingkat orisinalitas yang sebanding dengan Spider-Man dan Iron-Man. Ketika itu,
Wiro Sableng adalah sosok superhero yang kontradiktif, ia jago beladiri namun juga
jenaka, permasalahan serius seperti pertarungan hidup-mati selalu dihadapi
dengan tingkah konyolnya. Saya suka dengan konsep tersebut, serius tetap
santai.
Comments
Post a Comment