Ragu rasanya jika saya menahbiskan Indonesia sebagai negara yang
telah memasuki era modern. Kehidupan saya dan kalian pembaca blog ini mungkin
sudah akrab dengan platform media sosial macam Youtube, Facebook, dan Instagram,
tetapi apakah keakraban itu sudah merata?
Saya tidak tahu, mending saya vekesyen ke Kelurahan Youtube saja.
Memikirkan ini membuat saya teringat cerita jaman S1 di UMN.
Waktu itu saya bersama teman-teman sedang berkumpul di NELI Coffee Shop, jika kalian
mengira tempat tersebut adalah cafe kekinian, NELI Coffee Shop tidak lebih dari
rumah makan yang berjarak 500 meter dari kampus, berada diantara perkampungan
dan gundukan tanda peradaban yang sedang menunggu untuk dibangun. Kami
menamainya NELI Coffee Shop hanya untuk terlihat keren ketika share location di Path.
Penamaan NELI sendiri merujuk pada julukan yang kami berikan
kepada ibu-ibu tua penjaga warung tersebut, NELI yang berarti “Nenek Liar” (no offense Mbak Neli) kami gunakan
karena ibu bernama asli Piah (semoga bener namanya) ini memiliki perangai khas masyarakat
Betawi Ora, nada bicaranya tinggi dan cenderung nyablak, meski begitu NELI yang biasa kami panggil “Emak” itu sudah
kami anggap sebagai ibu sendiri.
Hari itu warung NELI sepi, para kuli peradaban Gading
Serpong yang biasa membeli makan siang sudah tidak terlihat lagi, hanya ada kami
yang sedang menyibukkan diri dengan meminum kopi, bermain PES menggunakan laptop,
atau sekadar mengobrol ngalor-ngidul menjadi
teman setia kala menunggu matahari yang panas
bergulir ke peraduannya.
Sedikit foto yang bisa menggambarkan keadaan NELI Coffee Shop (Photo by Fajar Muhammad Jufri) |
Obrolan ngalor-ngidul
sampai kepada topik Dangdut Birahi yang banyak kami temukan di Youtube. Ketika
itu kami mulai membicarakan siapa saja ikon dangdut paling hot, gaya seperti
apa yang mereka lakukan ketika dipanggung, hingga desahan ikonik yang dilakukan
Lina Geboy dan Mela Barbie saat sedang bergoyang tidak lepas dari bahan perbincangan.
Karena kami mayoritas adalah mahasiswa jurnalistik yang
percaya jika disiplin verifikasi harus digunakan guna mendapatkan kebenaran,
kami memutuskan untuk melihat video-video tersebut di Youtube menggunakan
ponsel pintar seorang teman.
Kata pencarian “Lina Geboy Dangdut Koplo Hot Sexy” dengan cekatan
diketik oleh teman yang menjadi pemilik kuasa atas ponsel itu. Berdasarkan likes
dan posisi paling atas, video Lina Geboy bernyanyi lagu “Cape Dech” pun kami
pilih, sekejap kami pun mulai tenggelam didalam video tersebut.
Kami pun mulai merubung ponsel yang sedang menayangkan video
Lina Geboy, warung NELI yang saat itu masih panas, makin terasa panas dengan
sikap dan antusiasme kami.
Kepiawaian Lina Geboy dalam dansa-dansi begitu ditonjolkan lewat lagu "Cape Dech" (Youtube.com) |
Emak yang sedang menyapu tidak jauh dari riuh rendah itu pun
merasa terganggu, naluri keibuannya muncul, dia penasaran dan mulai menghampiri
kami seraya menyapu debu-debu proyek yang menempel di lantai semen.
“Woi,
pada nonton apaan luuuh?? Nonton pidio kagak bener yak?” Ujar Emak curiga campur
penasaran karena tidak bisa ikut melihat lantaran badan-badan kami yang
terlewat besar.
“Kagak
maaak, ini lagi liat dangdut koplo,” timpal salah satu teman yang juga ikut
nimbrung.
“Ooooh,
dangdut koplo.. Dulu disini (kampung Cihuni) juga sering ngadain dangdut koplo,
biduannya dateng darimana-mana.”
“Iyaa
maak, yang ini biduannya lagi rame nih maak, namanya Lina Geboy,” ujar kami
berbangga diri.
“Lina
Geboy waktu itu kayaknya juga pernah main deh disini, emang itu lu liat dimana?”
“Di
Youtube maak.”
“Hah? Yutub? Kelurahan mana itu Yutub?”
Tanya Emak dengan tingkat kepolosan selayaknya
bayi baru lahir.
Kami langsung hening dan berpandang-pandangan, Emak pun dengan
manja memandangi kami yang juga mulai memandangi Emak, serentak tawa langsung
pecah di warung Neli, kami terbahak-bahak meninggalkan Emak yang masih dihantui
rasa penasaran, mungkin juga kekesalan.
Proses tertawa lepas dan menyehatkan itu kira-kira
berlangsung 30 detik. Setelah tawa mereda, kami mulai menghampir Emak yang masih
berdiri mematung, kami berusaha untuk meluruskan salah paham yang terjadi.
“Maaaak
Emak, Youtube itu bukan nama kelurahan maak! Youtube itu sejenis pemutar video
yang ada di hape!” ujar salah satu teman yang coba menjelaskan dengan bahasa
paling mudah dan elaboratif.
Emak pun mengangguk, anggukan tipisnya masih menyisakan rasa
tidak puas. Karena merasa kasihan, teman kami mulai menyodorkan ponsel yang
menampilkan video Lina Geboy itu kepada Emak. Setelah Emak melihatnya dengan
singkat, dia pun langsung berseloroh,
“Oh ini yang namanya Yutub!” Ujarnya dengan nada khas Betawi Ora.
Emak akhirnya tersenyum puas dan kembali menyapu lantai,
sedangkan kami yang bisa dibilang shock
menghadapi pertanyaan maha-menyentil dari Emak, mulai memesan kopi dan minuman
penyegar lainnya, urusan Lina Geboy sore itu harus kami berhentikan.
***
“Kelurahan Youtube” memang merupakan kejadian yang sudah
lama terjadi, tapi setelah saya berkuliah di KBM dan dituntut untuk meramaikan
BBKU, kejadian tersebut kembali terlintas di kepala. Tapi lebih dari itu ketidaktahuan
Emak tentang Youtube, pemilik warung NELI yang hanya berjarak 500 meter dari
kampus kami, kampus mahasiswa Multimedia, bisa menjadi bahan reflektif perihal gaung
modernitas Indonesia.
Kini Warung NELI telah rata dengan tanah, Emak yang dahulu
bersikukuh tidak mau menjual tanahnya kepada pengembang akhirnya harus
merelakan tanah kelahirannya, ketika para tetangganya telah bertransformasi
menjadi gedung-gedung tinggi menjulang. Tapi tidak apa, Emak sebagai warlok
(warga lokal) memiliki tanah berlimpah yang berada dimana-dimana, hidup Emak alhamdulillah bisa terus berjalan.
Lalu sebenarnya, kepada siapa peradaban ini harus diprioritaskan?
Kepada Emak yang mengandaikan jika Youtube adalah sebuah kelurahan yang gemah ripah loh jinawi, atau kepada
kapitalis yang percaya jika Youtube adalah instrumen modernitas yang mampu mengangkat
derajat masyarakat lebih tinggi lagi.
Comments
Post a Comment