“Rain. gloomy mood, just like my mood. I don’t like that.”
“Blue sky. Something warm, something unusual, something
horrible. Something useless. I don’t like that.”
- Shinji Ikari
Momen nostalgia bisa datang darimana saja. Kali ini ia
muncul di Jogja, tempat saya menimba ilmu yang katanya wajib kritis juga
emansipatoris. Di Jogja saya agak kesulitan dalam mengakses internet, entah
adiksi atau bukan, tapi saya rasa ruang saya dalam berinternet masih begitu
minim ketika dibandingkan dengan di rumah.
Ketika internet mulai acuh dan saya mulai mencari pelarian,
Jogja memperkenalkan kepada saya apa yang dinamakan “Luxury”. Internet cafe atau yang kerennya disebut
warnet ini seperti kuil bagi saya. Saya masuk, saya berdoa sambil merelakan harddisk saya digagahi komputer yang
asing, hingga akhirnya saya pulang membawa hasil. Hasil itu adalah serial
lengkap 26 episode Neon Genesis Evangelion.
Capek kalo saya musti menjelaskan apa itu Neon Genesis
Evangelion, coba tanya ke kamar sebelah. Saya pernah menonton serial ini, namun
sekarang ingatan tersebut hanya jadi bayang-bayang. Ketika itu saya masih SD,
sebagai anak yang lahir di era anime bergenre mecha, menyaksikan Evangelion adalah pengalaman baru; koreografi
pertarungan liar dan cenderung sadis, desain plugsuit
yang keren, dan sistem kokpit inovatif menjadikan saya kagum akan karya Hideaki
Anno ini.
Namun ketika saya menonton ke-26 episode itu kembali,
kekaguman saya akan cara bertarung mecha di
Evangelion sekejap sirna. Neon Genesis Evangelion kini bagi saya merupakan
tamparan keras, bagi saya dan semua orang yang hidup di dunia.
Shinji Ikari, sang tokoh protagonis hidup tidak untuk dirinya
sendiri, ia hidup untuk orang lain, untuk ayah, kolega, dan teman-temannya. Shinji
adalah potret manusia modern yang masih relevan hingga saat ini. Saya rasa kita
pun seperti itu, kita hidup untuk orang lain, berpakaian untuk mereka, bertutur
untuk mereka, sampai tidak ada realitas dalam diri, hanya simulasi yang manusia
bentuk agar merasa lebih hidup, atau yang disebut Baudrillard sebagai simulacra.
Neon Genesis Evangelion adalah sebuah cerita resistensi,
epos menolak keakhiran. Namun ketika para manusia didalam seri tersebut bersatu
melawan “Angel”, entitas yang digambarkan sebagai suatu “maha” dan “keharusan”,
mereka kenyataannya malah membusuk dari dalam, akhir mau tidak mau memang tidak
bisa dihindari.
Dalam dua episode terakhir, Neon Genesis Evangelion masuk
kedalam fase trance, visualisasi
terapeutik yang dilakukan Hideaki Anno kepada semua karakter inti didalam
serialnya. Setiap karakter – termasuk Shinji didudukkan, didestabilisasi,
dikontradiksikan demi membongkar wacana-wacana dominan. Untuk Shinji, wacana
tersebut adalah perannya dalam macrocosmos,
dunia yang ia yakini, dunia yang ia inginkan.
Bagi saya agak aneh, ketika si pembuat cerita ingin
menyelamatkan karakter ciptaannya sendiri. Shinji yang divisualisasikan sebagai
cangkang – berisi kaleidoskop peristiwa yang terjadi didalam serial, kembali
dibentuk sebagai manusia sejati – manusia yang paham dan mengerti nilai tentang
dirinya sendiri.
Menariknya, akhir episode tersebut yang saya kategorikan happy ending, malah menuai kritik tajam
dari para fans. Kekuatan fandom Neon Genesis Evangelion yang meminta ending lebih konvensional, bahkan sampai
melayangkan ancaman kepada Anno, menyebabkan sutradara tersebut menciptakan alternative ending bertajuk “The End of
Evangelion” yang terdiri dalam dua episode, Love
is Destructive dan My Purest Heart
for You.
Saya tidak akan menceritakan alur dari dua episode
alternatif tersebut, yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana manusia, yang
divisualisasikan sebagai seorang Shinji, yang coba diselamatkan oleh Anno –
atau setidaknya diangkat derajatnya, menolak kreativitas Anno dan meminta akhir
yang lebih dramatis, lebih destruktif. Ujaran Roland Barthes tentang “matinya
seorang author” sangat relevan
didalam konteks hingga kepada tahap yang begitu berlebihan.
Didalam episode tersebut, Anno punya jawaban bagi para fans
serialnya. Dia memvisualkan Shinji, seorang yang sedang meminta pertolongan, kepada
rekannya Asuka yang sedang koma, berbalik memasturbasikan rekannya tersebut, berakhir
dengan penyesalan pribadi, berkata “aku sangat menjijikkan”.
PLAK!! Ini dia, lewat adegan ini Anno tegas mengatakan “fuck you human, you’re the worst, filthy
lowly human”. Dia seakan menjabarkan sebuah titik terendah dari kehidupan
seorang manusia, dan bagi saya ini riil. Hipokrisi menjadi tantangan terbesar
manusia, mampu menjelma dan bereproduksi dalam setiap relasi sosial, dan
kita memang tidak bisa lepas dari itu.
Bagi saya, adegan “masturbasi” Shinji dalam serial Neon
Genesis Evangelion merupakan adegan paling
berpengaruh dalam sejarah politik anime dan fansnya. Maka jika kamu menonton
keseluruhan 26 episode tersebut sampai selesai, menonton episode alternatifnya,
melihat adegan tersebut dan berkata “kok
anjing dah si Shinji?”, berkacalah, mungkin kamu
sedang mengejek dan mencibir dirimu sendiri.
Lu nulis kaya gini sumpah gw kaya baca jurnal
ReplyDeleteUntung gue paham apa yg dijelasin penulis blog
ReplyDeleteWanjay
ReplyDeleteIya, gw setuju sekali dengan caramu menjabarkannya untuk potret kehidupan saat ini. Apalagi saat sudah beranjak dewasa kita akan di berikan pilihan yang sulit...
ReplyDeleteabsolutely Subarashi
ReplyDeleteKeren keren 👍
ReplyDeleteLalu apa yg kamu pilih secara nyata untuk saat ini bahkan kedepannya ? (bukan di posisi shinji tp posisi mu sekarang). Moga direspon ^_^
ReplyDeletemikir pingin nonton Neon Genesis Evangelion habis nonton semua episodenya+ending movie............. makin mikir wkwkwk
ReplyDeleteBtw episode berspa mastubsrtinya shinji?
Deletedi movie end of evangelion
Delete