Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2014

BOOK REVIEW: V/A – Memobilisasi Kemuakan

“Bagiku, jika dulu golput adalah perlawanan, sekarang golput adalah ketidak-pedulian, karena membiarkan kejahatan kembali berkuasa.” – Kill The DJ Pernyataan Kill The DJ A.K.A Marzuki Mohammad diatas, kembali membangkitkan pertanyaan masyarakat tentang wacana golput dan relevansinya pada masa kini. Golput saat Orde Baru memang dipakai sebagai alat perlawanan, karena pada era tersebut jelas pemilu yang diadakan adalah fiktif dan manipulatif. Orde Baru sekarang berganti ke era Reformasi, meskipun begitu kenyataan “jika masih banyak yang golput” tetap tidak berubah, golput saat itu memang mewakili kaum muda apatis yang sering dilabeli hipster . Dalam tulisan M. Fajri Siregar di laman jakartabeat.net, hipster bisa diartikan sebagai kaum muda yang tidak bisa ditelisik bentuk preferensinya. Terlepas dari galaunya anak hipster , pada pemilu 2009 angka persentase golput menyentuh titik tertinggi dengan 39%, setelah sebelumnya 8% (1999), dan naik sampai 23% pada 2004. Bahkan Tamrin

Dilema Generasi Transisi

Tidak terlalu segar dalam ingatan, jika 16 tahun lalu terjadi sebuah euforia besar akan runtuhnya sebuah rezim, yang korup, otoritarian, dan militeristik. Wajar saat itu, karena umur saya yang baru menginjak enam tahun, tidak terlalu mengerti, “euforia tentang apa ini sebenarnya?”. Walaupun saya tidak terlalu merasakan kejamnya Orde Baru secara langsung, tetapi saya belajar, saya membaca, juga mendengarkan, bagaimana kisah orang-orang yang hidup pada era tersebut, bercerita lewat buku-buku dan jurnal. Lalu masuk era reformasi, era dimana saya hidup dan dewasa, merasakan secara langsung Reformasi, saat saya hanya menyelami sejarah Orde Baru melalui pandangan orang-orang. Dalam era Reformasi sekarang ini, rasa mual saya terhadap Orde Baru sangat tidak tertahankan, yang paling parah, fakta jika tiang-tiang pancang kekuasaan mereka dibangun dengan politik seksual, “mempersetankan” perempuan komunis, lalu menjadikan 1,5 juta masyarakat Indonesia sebagai tumbal hegemoni mereka selam