Ketika pergi menuju Depot Kudapan
Kasuari dari kampus, pandangan mata saya selalu tertuju kepada pohon beringin
yang berdiri kokoh di areal hutan Fakultas Biologi. Akar gantungnya yang
kira-kira sebesar tangan manusia ini sudah mengeras, menempel erat dan menutupi
tubuh pohon, menjadikan tubuh tersebut sudah tidak terlihat lagi.
Saya kira, pohon yang sudah
berumur ratusan tahun ini, adalah ikon nyata dari falsafah utama UGM yang
selalu digaungkan, baik oleh civitas UGM atau tema BBKU ini sendiri, “mengakar
kuat, menjulang tinggi.”
Saya punya penawaran, bagaimana jika kita mengganti falsafah
tersebut, dengan sesuatu yang lebih kekinian, sesuatu yang lebih dirasa cocok
untuk menyongsong era milenial ini #halah. Seperti pohon beringin, seperti itu
juga falsafah ini telah bekerja ratusan tahun lamanya, pohon beringin berdiri
kokoh, angker dan tidak tersentuh modernitas kota Jogja yang kian bising.
Dalam pemaparan mahasiswa baru
ketika itu, “mengakar kuat” haruslah menjadikan civitas UGM selalu ingat dengan
almamaternya, ingat darimana kita berasal. Sedangkan “menjulang tinggi”
mengajak civitas UGM agar selalu terdepan (bukan tagline Yamaha), dan bisa
berbicara banyak baik kancah nasional dan internasional, visi ini adalah
turunan dari falsafah diatas.
Saya jadi teringat bagaimana saya
hidup membawa banyak falsafah dari institusi tempat saya belajar dahulu. Di
SMA, saya dan teman-teman hidup seperti belut, licin dan susah ditangkap, lantaran
kami sering cabut dan bolos solat
Jumat. Lebih dari itu, seperti belut kami bergerak tangkas dan terselubung,
kami adaptif, pun dalam urusan romansa seperti mendekati adek kelas tanpa
diketahui teman-teman lain, seringkali kami mendekati adek kelas yang sama, sehingga
persaingan sehat tidak terelakkan.
Ketika S1, saya dan kawan-kawan
hidup mengacu kepada tai kuku. Tidak perlu tahu alasannya, tai kuku yang sudah
pasti bau harus tetap kami cium, itu yang membuat kami terus ingat akan
disiplin verifikasi, kredo jurnalis profesional yang sebenarnya sudah enggak
populer-populer amat di era post-truth
ini. Tetapi melampaui itu, tai kuku adalah bentuk ketekunan, keajegan yang kami
lakukan, tentu hasilnya kami tekun nongkrong, kami tekun jalan-jalan, dan kami tekun
menemukan hal baru yang menyenangkan.
Mulai S2, saya merasa falsafah “pohon
beringin” tidak lagi relevan, maka saya ingin menggantinya dengan yg lebih
sederhana, tidak megah dan angker, tidak juga monumental, kita harus belajar
seperti rumput (teki).
Rumput gampang tercerabut, rumput
itu hama. Saya setuju, tetapi ada banyak hal yang tidak dimiliki pohon
beringin, dimiliki oleh rumput, kemampuan untuk hidup dimana-mana, lewat sumber
daya yang terbatas. Agar bisa “mengakar kuat, menjulang tinggi” pohon beringin
membutuhkan areal yang luas dan waktu yang lama, berbeda dengan rumput yang
bisa tumbuh dimana-mana, dalam waktu yang sekejap.
Comments
Post a Comment