Minggu (2/4) kemarin adalah hari
yang menyenangkan bagi saya, alasannya dua, karena hari itu saya berulang tahun
dan saya dihadiahi sebuah buku oleh kawan yang sepertinya mengerti (atau ingin
terus menjerumuskan) kesukaan saya.
Buku tersebut adalah “Laptime
JKT48”, terbitan terbaru 2017, yang dia yakini mampu menjadi referensi utama
saya dalam menelisik per-48-an di Indonesia. Melihat covernya tentu saya
penasaran, “mungkinkah ada info-info berharga tentang JKT48 yang tidak bisa
diketemukan di internet, ada disini?”
Setelah saya membacanya, saya
sedikit kecewa. Buku yang ditulis awak Jawa Pos ini keseluruhan hanya berisi
trajektori perkembangan JKT48 dari 2011-2016, tidak ada yang benar-benar baru
kawan, isinya hanya berupa kompilasi-kompilasi artikel metropolitan Jawa Pos
yang membahas JKT48; disusun dalam periode waktu. Yang menyenangkan dari buku
ini hanyalah foto-foto dalam teater yang eksklusif dan foto Haruka yang cool serta sporty ketika bersepeda dari Jakarta ke Surabaya (yang masih
diragukan kebenarannya, gomen Haruka).
Namun menarik sebenarnya ketika
melihat kenapa Jawa Pos begitu semangat mengikuti terus perkembangan JKT48,
mungkinkah pimpinan redaksinya adalah wota, seorang skymen yang mencintainya oshinya dengan sepenuh hati. Maka dari
beberapa artikel didalam buku ini ada satu yang menarik, artikel tersebut
mengangkat subjudul “Penggemar Ikut Tentukan Banyak Hal”.
Lalu, seberapa penting peran fans
(mayoritas laki-laki) bagi eksistensi JKT48? Kenapa bisa-bisanya mereka menulis
jika produser memposisikan penggemar sebagai bagian dari tim? Logika macam apa
ini?
Lantas saya teringat dengan pernyataan
Lacan; yang dikutip oleh LaMarre dalam bukunya “The Anime Machine”, katanya, “women does not exist” yang lalu
dilanjutkan oleh Zizek; masih dalam buku yang sama jika “she is nothing but symptom of man, her power of fascination masks the
void of nonexistence.”
Ekstremnya, JKT48 itu tidak ada,
mereka hanyalah gejala yang muncul dari para fans yang mendambakan sebuah
imaji, kesenangan, hasrat, dan keintiman. Dari sini saya bisa mengetahui jika
fans adalah inti dari segalanya, dan itu mengapa banyak pernyataan tipikal dari
para performer, ketika mereka sedang
berada di tangga kesuksesan, mengklaim keberhasilan mereka “tidak akan pernah
tercapai tanpa dukungan fans”, ini tidak tertutup untuk JKT48 saja, tetapi juga
performer lainnya.
Padahal fans dengan JKT48 tidak
akan pernah bersatu, mereka yang direpresentasikan sebagai tim – satu kesatuan,
kenyataannya terpisah baik secara ruang dan waktu, fans tidak akan pernah bisa
mengobrol, bersalaman, berfoto dengan member, terkecuali ditentukan oleh ruang
atau waktu dimana mereka memang diperbolehkan untuk bertemu, misal akushukai, 2-shot, dan event-event
lainnya, diluar itu jangan harap.
Keterpisahan ini digambarkan
dengan baik oleh Lacan dalam konsep mirror
phase, proses dimana bayi melihat refleksinya sebagai bagian dari egonya
sendiri, meskipun juga ada unsur mis-recognition
dalam proses objektifikasi tersebut. Mirror
phase dijabarkan oleh Saito Tamaki (dalam Galbraith) dalam konteks hasrat laki-laki. Dia bilang,
Desire directed at the object a
incarnates desire as an illusion within the symbolic world . . . The male follows
a chain ofmetaphors directed towards the desired object a that he cannot
attain. In the process, he constructs the illusion called knowledge. What he
tries to possess (e.g., the illusion of the woman) is actually a stand-in for
the singular object a that perpetually eludes his grasp.
Ironis memang, ketika seseorang memutuskan
untuk menjadi fans agar bisa mendekatkan dirinya dengan member, mendukungnya,
menjadi bagian dari kehidupannya, fans dan member akan selalu dibatasi oleh
kaca yang tebal, fans akan selalu memproyeksikan imaji idealnya kepada refleksi
kaca berupa member favoritnya, yang tidak lain hanyalah refleksi dari fansnya
dan sama sekali tidak memiliki eksistensi. Disini process of becoming tidak akan selesai, fans akan selalu mengejar
member, member akan selalu meminta dukungan fans, seperti ouroboros yang menuju kehancuran.
Maka itu saya tidak pernah
menyebut diri saya sebagai fans, saya hanyalah penikmat. Pun bertemu idola
diluar arena yang semestinya, saya akan menganggapnya orang asing, karena saya
hanya mengidolakannya didalam teater, bukan di restoran fast food, apalagi di
mal. (MFA)
Referensi:
Thomas LaMarre, “The Anime
Machine: A Media Theory of Animation”
Patrick W. Galbraith, “Idols: The
Image of Desire in Japanese Consumer Capitalism”
Dhimas Ginanjar, “Laptime JKT48:
Lima Tahun Penuh Cerita”
Comments
Post a Comment