Kenangan saya tentang 90-an itu
beragam, namun tidak pernah tergambar secara jelas. Saya ingat bagaimana setiap
sore rumah saya didatangi teman-teman, mereka berteriak “Pa-ujaan! Pa-ujaan!”
dengan koor dan intonasi yang khas, mengajak saya untuk bermain bola di tanah
merah yang kini sudah menjadi perumahan. Terkadang saya keluar, terkadang koor
teman-teman dibalas oleh teriakan Mamah, “Fauzan-nya enggak boleh main!”.
Alhasil saya hanya bisa menonton
kartun sore yang disiarkan di program tv, atau membaca komik sebelum komik
tersebut disita/dibakar, atau bermain PS sebelum konsol tersebut disembunyikan,
hanya karena nilai rapot saya jeblok, atau saya bolos tadarus.
“Hmm! Hmm! Terus! Terus! Baca
komik terus!” setidaknya itulah peringatan Mamah yang masih terngiang, meski
blio menyuruh saya untuk membaca komik, saya tahu jika yang dia maksud adalah
sebaliknya. Pun dengan main malam, saya hanya dibolehkan main sampai jam 8
saja, lebih dari itu pintu dikunci dari dalam.
Namun ketika saya bermain, saya langsung
memanfaatkan waktu tersebut dengan baik. Biasanya saya mengajak teman-teman
untuk bermain PS di rumah, karena ketika itu saya adalah satu-satunya anak yang
memiliki PS di Pamulang 2 (lebay). Selain bermain di rumah sendiri, bermain di
rumah teman juga menyenangkan, tiap rumah biasanya memiliki ciri khas berbeda,
walaupun keduanya memiliki kesamaan; kedua teman saya memiliki Ibu yang bekerja
di luar sehingga rumahnya selalu sepi.
A adalah anak yang kreatif.
Dengan akalnya yang banyak dia mampu menciptakan permainan-permainan baru,
seperti tenis lantai – perpaduan tenis dengan gawang yang dimainkan dua orang,
dengan cara duduk dan memukulnya menggunakan sendal. Sedangkan B adalah orang
yang paling selow, dia juga memiliki
kakak yang menjadi panutan bocah-bocah ingusan, anak band dan selalu ada
perempuan di kamarnya di lantai 2, kami yang waktu itu masih kecil hanya bisa
bermain di lantai 1.
Di rumah B untuk pertama kalinya kami
belajar merokok, di rumah B untuk pertama kalinya kami memasak Indomie, di
rumah B untuk pertama kalinya kami menonton film porno. Lebih dari itu, preferensi
musik kami dibangun oleh rumah B (selain MTV) karena saya dan teman-teman rutin
mengobrak-abrik koleksi kaset kakaknya atau sekadar membaca majalah-majalah
musik yang dulu kami anggap keren.
Tetapi tidak semua teman bisa
merasakan hal tersebut; teman yang umurnya jauh dibawah kami rentan
didiskriminasi. Ketika azan dzuhur berkumandang, teman saya selaku pemilik
rumah meminta kami untuk pulang dahulu, padahal itu adalah siasat agar “korban”
pulang kerumahnya, ketika “korban” telah benar-benar pulang, kami kembali ke
rumah tersebut sambil menyembunyikan kumpulan pasang sendal yang biasanya
berserakan didepan pagar, hal tersebut bisa membuatnya enggan bermain lagi dan
memilih pulang.
Comments
Post a Comment