Ingatan pertama saya setelah
lahir di dunia adalah bangun tidur di kamar ibu saya yang luas, berjalan ke
ruang tamu, duduk dan menonton serial animasi Doraemon di RCTI. Tidaklah
berlebihan jika saya menyatakan ini, “anak Indonesia yang menonton tv, pasti
mengenal siapa itu Doraemon”, robot kucing dari abad ke-22 yang mampu
mengeluarkan alat ajaib dari kantongnya.
Saya – dan mungkin mayoritas anak Indonesia
ketika itu sering membayangkan memiliki sahabat seperti Doraemon, semua masalah
– dengan teknologinya – bisa ia atasi, Doraemon mendobrak ruang-ruang
imajinatif yang sepertinya tidak akan bisa dituju; Planet Liliput, Zaman
Dinosaurus, The Birth Of Japan,
Planet Kaleng, Planet Tumbuhan, Planet Binatang, Mechatopia, sampai Kereta
Antar Bintang adalah sebagian ruang imajinatif yang mampu ia kunjungi bersama
Nobita, Shizuka, Jaian (sic), dan
Suneo.
Ada tesis menarik dari Sara
Catherine Osanton, Universitas Toronto. Terkait dengan perjalanan ruang yang
dilakukan Doraemon dan kawan-kawan – ia menyebut hal tersebut dengan “the acquisition of space”. Doraemon ia ibaratkan sebagai tireless colonialist yang menciptakan kekaguman dalam bentuk
ekspansi sebagai maksud memperoleh kekuasaan atau menyelesaikan permasalahan di
suatu negara. Seperti travel narrative,
seri Petualangan Doraemon (khususnya) berfokus pada kebutuhan membuat ruang,
dengan menampilkan kecenderungan kolonial yang laten.
Sara melihat narasi petualangan
Doraemon sebagai ruang imajinatif yang terbebas dari modernisasi barat – Ruang dimana
Nobita dan Doraemon mampu membangun, mengorganisir, bebas dari intervensi orang
dewasa dan unsur-unsur opresif lainnya.
Tidak hanya ditampilkan sebagai
kolonialis, Doraemon dalam wacana lainnya juga ditampilkan berbeda. Anya
Benson, dalam jurnalnya melihat jika Doraemon – yang dilabeli sebagai nation character (kokumin-teki kyarakuta) oleh pemerintah Jepang – merupakan visi
sempurna dari pandangan Jepang tentang kehidupan. Melalui Doraemon sebagai
produk budaya pop, Jepang memiliki potensi dalam menyebarkan japanese ideal tersebut ke negara Asia
lainnya; ide tentang masa kecil, perang dan damai, ilmu dan teknologi, dan
tentu saja masa depan.
Doraemon dalam tataran
kontekstual bisa menghadirkan representasi yang beragam. Berangkat dari hal
tersebut, saya ingin mengaitkan serial animasi Doraemon dengan konteksnya di
Indonesia. Perlu diketahui jika Doraemon pertama kali tayang di Indonesia pada
1988, ketika itu RCTI sebagai stasiun televisi swasta pertama Indonesia
mendapatkan kesempatan untuk menayangkannya. Doraemon sukses besar, sempat
pindah tayang ke SCTV, kini di RCTI masa tayang Doraemon kira-kira sudah
mencapai 20 tahun lebih.
Kenapa serial animasi Doraemon
begitu dgandrungi, bahkan sampai saat ini? Audiensnya pun beragam, mulai dari
anak kecil hingga dewasa suka dengan Doraemon. Setiap Minggu, bahkan Bapak saya
ikut menikmati Doraemon sehingga kami berdua sering tertawa bersama. Oke, fakta jika produk-produk kultural
negara lain (Jepang, Korea, AS) sering mendulang sukses di negara dunia ketiga
bisa saya kesampingkan dulu, saya disini mencurigai adanya ideologi yang telah
langgeng, hadir dalam serial animasi Doraemon dan menjadi proyeksi masyarakat
Indonesia.
Doraemon memang tidak dibuat
untuk audiens Indonesia, tetapi persepsi tentang suatu hal bisa saja berbeda,
suatu hal nan subyektif. Kemunculan Doraemon di RCTI merupakan satu bagian
kecil dari konsorsium rezim Suharto dalam mengelola negara. RCTI – televisi swasta
– sering disebut sebagai ”another arm of
the state”, yang pertama digunakan sebagai pembagian kue kekuasaan Suharto
dan kroni-kroninya (RCTI ketika itu dimiliki Peter Sondakh dan Bambang
Trihatmodjo), serta untuk mengalihkan produksi negara – yang tadinya sangat
bergantung kepada minyak, mulai berganti kepada sektor barang dan jasa, salah
satunya industri penyiaran.
Sampai situ, bolehlah kita
mengatakan jika runtuhnya oil boom di
Indonesia menjadi pemicu kebangkitan kelas menengah. Lalu apa hubungannya kelas
menengah dengan Doraemon, bro? nah
ini yang menarik, Anya Benson di awal jurnalnya menulis jika kegiatan Nobita
dan Doraemon juga biasa dilakukan oleh kelas menengah. Tidak hanya itu,
analisis kecil-kecilan saya juga memperlihatkan jika Nobita; anak satu-satunya,
tinggal di pinggiran kota, ayah Nobita bekerja dengan memakai kereta, dan
kehidupan Nobita sendiri juga sangat sederhana dan ia relatif selalu merasa
kurang dan tidak puas dengan hidupnya sendiri – ini adalah potret kelas
menengah.
Nobita yang sering tidak puas
dengan hidupnya dibantu oleh Doraemon. Menggunakan alat-alatnya, Doraemon coba
membantu Nobita dalam menyelesaikan permasalahan – yang sebenarnya bisa
diselesaikan oleh dirinya sendiri. Dalam kerangka
gag-a-day, sketsa dimana Nobita yang
kesulitan, dibantu Doraemon menggunakan alat ajaibnya, lalu akhir cerita yang
hampir selalu formulaik – dimana masalah Nobita makin pelik berkat Doraemon terus
diulang-ulang, sehingga pola yang muncul adalah bentuk ketergantungan Nobita
terhadap alat Doraemon.
Ketergantungan menjadi kunci
penting dalam pembahasan selanjutnya. Andai kata Doraemon, seperti Anya Benson lihat
merupakan poyeksi masa depan yang ideal. Konteks ketika itu, masa depan ideal
hadir dalam REPELITA kreasi Suharto. Gaung pembangunan ketika itu menjadi
penting, Indonesia yang “lepas landas” adalah masa depan ideal masyarakat
Indonesia.
Maka ketika Nobita bergantung
kepada Doraemon agar bisa mendapatkan bantuan teknologis, konteks kelas
menengah Indonesia pun tidak berbeda jauh ketika rezim Suharto. Jurnal yang
ditulis Mark Lim Shan-Loong mengatakan jika pada rezim Suharto, terbatasnya
aktivitas politik memunculkan ketakutan dan kekhawatiran soal kebebasan
berbicara dan penegakan hukum. Pun dari segi ekonomi – meski taji negara tidak
terlalu kuat karena minyak mulai melemah, negara masih memegang sumber daya
strategis, kesempatan-kesempatan untuk bekerja, hingga kemampuan untuk menjaga aturan
sosial menyebabkan kelas menengah (mau tidak mau) bergantung kepada negara –
tepatnya rezim Suharto.
Dalam pandangan barat – yang ditulis
Richard Robison – kelas menengah di Asia adalah juara pasar bebas, reformasi
liberal, dan politik demokrasi. Namun ide itu tidak terjadi di Indonesia, pada
rezim Suharto. Menarik jika melihat pertautan ideologi antara rezim Suharto dan
Doraemon, serial animasi Jepang ini bisa dimaknai sebagai alat propaganda
Suharto dalam melanggengkan wacana masa depan yang ia cengkeram dalam bentuk ‘pembangunan’.
Maka ketika blio lengser, namun
Doraemon tetap ditayangkan di RCTI, wacana tersebut tidak akan sirna.
Masyarakat Indonesia akan selalu memproyeksikan masa depan mereka yang bebas
dari masalah berkat bantuan teknologi, meski mereka harus menonton serial
Doraemon yang berulang-ulang, stagnan – meminjam kata-kata Anya Benson sebagai “unchanging personality and timeless world”.
Referensi:
“Insidiously Cute: Kawaii
Cultural Production and Ideology in Japan” – Osenton, Sara Catherine
“The Utopia of Suburbia: The
Unchanging Past and Limitless Future in Doraemon” – Benson, Anya
“The Indonesian Middle Class
& New Order” – Shan-Loong, Mark Lim
“Emergence of the Middle Class in Southeast Asia”
– Robison, Richard
seru banget baca ini kak
ReplyDeleteharga truck scania