Skip to main content

Post-Apokaliptik

Tidak banyak orang yang membayangkan masa depan dalam bentuk utopia. Pepohonan hijau, langit yang biru hingga udara bersih tidak ubahnya dongeng tentang surga ketika manusia membayangkan seperti apa masa depan nantinya. Jika saya cermati, produk-produk kultural masyarakat selalu mempersepsikan dunia dalam satu pandangan, distopia – lebih lanjut post-apokaliptik.

Apa sebenarnya post-apokaliptik itu? Term ini merupakan subgenre dalam science fiction, merujuk pada masa setelah terjadinya peristiwa katastropik yang ditandai dengan runtuhnya peradaban berteknologi maju, sehingga memunculkan peradaban baru yang mencoba untuk bertahan hidup.
Dari berbagai macam produk kultural yang berbicara tentang post-apokaliptik, rujukan saya selalu kepada dua negara; Amerika Serikat dan Jepang. Keduanya merupakan negara superpower yang telah menjadikan teknologi sebagai bagian dari peradaban mereka.

Jepang melihat post-apokaliptik dalam bentuk yang khas, nuklir. Sebagai satu-satunya negara korban bom nuklir pada PD-II, ada trauma unconscious tentang bagaimana mereka harus menerima teknologi. Dalam produk kultural Gojira misalnya, kadal raksasa tersebut dipersepsikan sebagai ekses radiasi nuklir yang mengubah struktur fisik kadal, sehingga mengubahnya menjadi raksasa.

Perilaku kadal yang destruktif itu sendiri dilihat sebagai trauma bagaimana bom nuklir  bisa berdampak buruk bagi masyarakat Jepang. Ini salah satu alasan mengapa wacana pembangkit listrik tenaga nuklir (ingat Fukushima) tidak pernah lepas dari perdebatan panjang.

Sedangkan Amerika Serikat memiliki persepsinya yang beragam perihal masa depan post-apokaliptik. Mad Max, Fallout, Bladerunner, Terminator, hingga Resident Evil adalah sedikit dari produk kultural AS yang bercerita tentang kehancuran masa depan, dengan pesan yang bermacam-macam. Namun patut digarisbawahi, masalah terbesar post-apokaliptik adalah manusia, bukan bencana alam atau kuasa Tuhan (meskipun film-film bencana juga memiliki tempatnya tersendiri di AS, lihat: The Day The Earth Stood Still, Armageddon, 2012 dll).

Memang, post-apokaliptik selalu melihat keserakahan manusia sebagai alasan utama kehancuran di muka Bumi. Perseteruan faksi militer dan partai politik adalah alasan utama AKIRA masuk kedalam era cyberpunk, kerusuhan dimana-mana, kemunculan geng motor, hingga sekte-sekte kepercayaan baru menjadi akibatnya. Lalu AI (artificial intelligent) dalam I Am Robot menjadi penyebab rusaknya sistem program robot; yang harusnya robot membantu manusia – berbalik sehingga robot malah memberontak.

Saya selalu percaya jika produk-produk fiksi tersebut selalu terkait dengan konteks riil di dunia. Dalam hal ini subgenre post-apokaliptik adalah sebuah pengingat, bagaimana keserakahan manusia dalam mengakumulasi uang dan teknologi, adalah penyebab utama kehancuran Bumi, bukan gunung meletus, tsunami, dan sebagainya.

Konteksnya sudah jelas, bahan bakar fosil mulai berkurang, kapitalis mencoba mencari sumber baru energi, bioetanol ditemukan dalam bentuk kelapa sawit, lahan dibuka dimana-mana, deforestasi dimana-dimana, semuanya dilakukan hanya untuk mengganti bahan bakar fosil yang telah habis, sehingga kredo ‘sustainable’ bisa terus digaungkan, ini kontradiktif. Harusnya para kapitalis paham, kalian tidak perlu mencari sumber energi terbarukan sampai ke ujung dunia, kalian hanya perlu berhenti, sudah itu saja.

Comments

Popular posts from this blog