Le Pure Café tak pernah sepi. Cafe
sederhana yang berada di persimpangan jalan Impasse Franchemont dan Rue Jean
Mace ini selalu dipenuhi dengan perbincangan hangat para pelancong, daur baur
menjadi satu di udara, sambil mereka menikmati kopi yang disuguhkan.
Namun kali ini suasana cafe
sedikit berbeda, tidak ada kebisingan orang bercakap-cakap, hanya ada sedikit
bisikan dan gumaman para pengunjung, bersatu dengan raut ketegangan barista dan
pelayan ketika melayani seorang pria muda bernama Samid.
Tegang itu beralasan, hampir
semua penikmat kopi di dunia tahu siapa itu Samid, semenjak penelitiannya soal
biji kopi rampung, karirnya sebagai connoisseur
kopi langsung melesat tajam, menjadikan dia sebagai satu-satunya ahli perkopian
paling berpengaruh di dunia.
Ketegasannya soal kopi pun tidak
main-main, dalam ranah industri, Samid vokal mengkritik FAO soal “blood coffee”, perkebunan kopi di Amerika
Selatan yang mengekploitasi petani kopi untuk bekerja, bahkan tanpa upah untuk mendukung
pemerintahan diktatorial. Samid mendesak setiap perkebunan kopi harus memiliki “slaved-free certified”, tanda jika
perkebunan kopi menggaji buruh mereka dengan layak dan bebas dari kepentingan
politis tertentu. Seketika itu, para petani kopi di Venezuela, Kolombia, hingga
Peru mulai memajang foto Samid didalam rumah mereka, sejajar dengan foto-foto
Che Guevara dan Subcomandante Marcos.
Begitupun soal cita rasa. Baginya
aroma kopi seusai brewing haruslah
menunjukkan konsistensi dengan rasa kopi itu sendiri, aroma dan rasa kopi itu
melengkapi dan tidak kontradiktif, itu motto Samid. Dalam sebuah kunjungan
kerja ke cafe daerah Frankfurt, Samid pernah menjejerkan para barista dan pelayan,
lalu memarahi mereka semua lantaran aroma coklat yang muncul pada kopi sama
sekali tidak terasa ketika dia menyeruputnya, Samid keluar dari cafe dengan
wajah kesal. Hasilnya sudah bisa ditebak, pengunjung cafe berkurang sehingga
cafe tersebutpun harus tutup.
Itulah alasan mengapa para staf
begitu tegang melihat pria muda ini duduk di meja tengah, tempat sama yang
diduduki Jesse dan Celine ketika mereka menikmati kopi, namun ketika mereka
berdua berbincang dan tertawa dengan hangatnya, Samid duduk sendirian, tatapan
matanya tajam, ia tak bergeming.
Sesekali Samid melirik Rolex
berlapis emas yang melingkar di pergelangan tangannya, dia tidak punya banyak
waktu, dalam kunjungan kerjanya ke Paris ini, setidaknya ada 10 lebih cafe yang
harus ia datangi, interior Le Pure Café yang memancarkan suasana parisian dan rustic tidak membuatnya puas, “aku datang untuk menikmati kopi,
bukan untuk berfoto dan memuja-muja tempatnya” pikirnya.
Kopi yang dipesan Samid pun
akhirnya datang, pesanannya tidak muluk-muluk, single origin paling banyak dipesan, lalu metode french press. Sejenak Samid memandangi
kopi tersebut, ia lalu mengangkatnya, mengendus kopi itu dalam satu tarikan
nafas panjang yang halus, kopi itu kembali dia taruh diatas meja, barista dan
para pelayan yang berdiri mengelilinginya hanya bisa terpaku, mereka
tahu Samid sedang berpikir, menyelami aroma kopi tersebut, satu gangguan dan
nasib cafe mereka bisa usai.
Samid kembali mengangkat kopi
tersebut, ini yang ditunggu-tunggu, para barista menahan nafas seketika bibir
Samid bertemu dengan pinggir cangkir kopi, suara seruput halus bergaung,
meninggalkan bekas ditengah cafe yang semua pengunjungnya terdiam, sama
penasaran dengan para barista dan pelayan.
Cangkir putih itu kembali Samid
taruh diatas meja, dia kembali terdiam, memandang langit-langit Le Pure Café
yang bertahtakan ornamen kayu bergaya vintage,
masih, tidak ada yang berani menanyakan rasa kopi tersebut kepada Samid, ini
adalah momen-momen krusial dimana nasib cafe dipertaruhkan.
Samid mulai melonggarkan dasi
Armani yang mencekat lehernya, lalu ia merogoh sesuatu dari balik kantong jas,
mengeluarkan sebungkus Surya 16, sudah dibuka, menyisakan beberapa batang
didalamnya. Pelayan yang melihat hal tersebut bergegas menuju bar, mengambil
asbak dan langsung menaruhnya di tengah meja. Ketika ada pelayan yang menyodorkan
mancis untuk membakar rokok Samid, dia menolak, seraya merogoh celana khaki untuk mengeluarkan mancisnya
sendiri.
Dalam satu tarikan nafas yang
dalam, Samid menghembuskan asap ke udara, tulang-tulang bahunya yang tadi
tegang tiba-tiba lemas dengan sendirinya, dia tahu ini adalah rokok pertama dan
ternikmat setelah hampir dua hari ia tidak merokok, Samid tidak bisa
menyembunyikan senyum yang terkulum tipis dari bibirnya, begitu juga para barista
dan pelayan, para pengunjung Le Pure Café, dan mungkin juga dunia.
Comments
Post a Comment