Tidak seperti coffee
snob lainnya, saya tidak suka menggonta-ganti tempat mengopi, salah satu
tujuan utama saya ya Kedai Kopi
Kinanthi. Ini bukan promosi, atau juga puisi hanya karena akhirannya selalu
‘i’.
Sejujurnya saya tidak tahu soal perkembangan coffee shop di Jogja, atawa tentang
merebaknya barista perempuan. Pengalaman saya satu-satunya tentang barista
perempuan hanya berlangsung ketika melewati kedai kopi di Pandega Marta (fak saya lupa namanya). Ketika itu kami
(saya dan teman saya sebut saja Aco) yang sedang menuju kampus menggunakan
motor selalu riuh ketika melihat perempuan tersebut sedang meracik kopi.
Pengalaman kami hanya sebatas itu, tidak sampai masuk kedalam cafe dan memesan
minuman.
Kalo dipikir-pikir, yang seharusnya dipertanyakan adalah
mengapa barista identik dengan lalaki. Hubungan industri jasa kan hampir pasti
selalu terkait dengan perempuan, apalagi sebagai ujung tombak. Di dunia
patriarki macam Indonesia misalkan, news
anchor atawa pembawa acara kebanyakan adalah perempuan, PR officer, sampai yang paling keseharian
berupa kasir Indomarket utamanya dipenuhi oleh perempuan.
Lantas mengapa pekerjaan barista demikian berbeda? Budaya
ngopi-mengopi kan juga ngga bisa lepas dari patriarki, logika perandaiannya yang
beli kopi kebanyakan laki-laki, masa baristanya juga lelaki? Ye gak.
Silakan yang mau berkomentari
Comments
Post a Comment