Apa yang aku beritahu kepadamu nanti demikian bisa menjadi
penting. Perempuan, aku tidak tahu namanya siapa, yang aku tahu dia cantik. Kalau
aku sedang bosan dengan pelajaran sejarah di sekolah, aku suka memperhatikannya.
Curi-curi pandang aku meliriknya, jika Pak Pulung mulai menjelaskan apa itu vivipar
dan ovovivipar. Terkadang Bu Irene memarahiku, ketika di kelas, ketika aku
termenung menghadap jendela dan dia menyebutku “tukang bengong’, pikiran aku ada
untuk perempuan tersebut.
Dia tidak seperti aku, itu pasti. Kalau dia seperti aku, pasti
kita sudah bertatapan, lama sekali, sehingga aku tahu warna matanya hitam namun
menyimpan secercah coklat yang berbinar layaknya batu safir. Kenyataannya tidak,
maka tentu saja aku tidak tahu bentuk matanya seperti apa, jangankan bentuk
mata, kehadiranku pun dia tidak tahu.
Posisi duduknya selalu rapi, santai namun tetap waspada.
Kedua tangannya berada di atas meja, sesekali mencatat, sesekali menghapus,
sesekali mengangkat tangan, sesekali temannya menghampiri, kadang perempuan,
namun seringnya laki-laki, menanyakan sesuatu, mungkin tugas, mungkin sekadar
berbincang tentang serial TV malam tadi.
Aku tidak pernah bosan menatapnya sampai bel sekolah tanda
istirahat berbunyi, karena itu adalah waktu aku dipanggi ke ruang guru untuk
dinasehati, oleh Bu Irene dan guru-guru lainnya yang sebenarnya tidak berhubungan,
tetapi mereka merasa bertanggung jawab, jadi aku tidak masalah.
Selesai, aku turun ke kantin. Perempuan tersebut tidak ada,
tidak apa-apa aku makan saja, karena memang perempuan tersebut bukan siswi
sekolah ini, tetapi siswi dari sekolah yang berbeda. Sekolah aku dan sekolahnya
dipisahkan lapangan basket, bukan jadi halangan aku untuk memperhatikannya.
Bu Irene bilang, nilai pelajaranku makin turun lantaran seharian
aku hanya termenung di kelas, dia bilang aku sebagai anak muda harus punya
kehidupan, harus semangat. Bu Irene saja tidak tahu, aku sudah memiliki tujuan
hidup, meski dihalangi lapangan basket.
Aku tidak mau Mamah dan Papah mengetahui nilaiku jelek,
akhirnya dengan berat hati aku ikuti saran Bu Irene yang sederhana, fokus
menghadap papan tulis. Aku pikir dia menyuruhku memperhatikan, sekadar
menghadap papan tulis, aku bisa.
Akhirnya aku tidak lagi dipanggil ke ruang guru. Ini pertama
kalinya aku mendengar bel sekolahku yang lumayan panjang, bersahut-sahutan
meski agak sumbang dengan bel sekolah seberang, di kelas, dari balik meja.
Kamu tahu, perempuan tersebut membuka jendela samping
mejanya, wajahnya yang bermandikan cahaya matahari dan sedikit semilir angin seperti
tertarik dengan banyaknya siswa-siswa yang berlarian di lapangan menuju kantin,
dia tersenyum.
Pengalaman pertamaku menyantap Indomie Goreng ketika SD
kembali muncul, perasaan yang menyenangkan, yang aku tahu akan berbahaya jika
dilakukan terus menerus. Aku berhenti memandanginya, aku duduk terdiam ketika
teman-teman sekelas sudah pergi terlebih dulu, perasaan menjadi campur aduk,
“Oh,
jadi seperti ini rasanya dipandangi seseorang,” ujarku pelan.
Comments
Post a Comment