Skip to main content

Deus Ex Micina


Kikunae Ikeda gelisah, mertuanya ingin datang ke rumah dan dia harus menyajikan masakan enak untuk membuat si mertua bahagia. Masalahnya cuma satu, Ikeda sama sekali tidak mengerti caranya memasak, soal dirinya yang jago memasak hanyalah bualan agar mertuanya bangga, kini Ikeda akan terkena getahnya.

Mertuanya datang, wajah Ikeda kian hambar, sehambar rasa sop yang sedang dia utak-atik di atas kompornya. Ditambahkan garam, asin sekali, ditambahkan kecap, manisnya bukan main, apapun yang Ikeda lakukan, rasa sop tetap tidak karuan.

Pusing bukan kepalang, Ikeda menggaruk-garuk kepalanya, tak disangka dia menemukan satu saset MSG dengan merk “Agila-Lu-Ndro”. Maka serupa kera-kera yang berjumpa dengan obelisk hitam di “2001: A Space Odyssey”, Ikeda sekejap terinspirasi, dia masukkan langsung itu MSG kedalam sopnya, dan bersamaan dengan itu mertua Ikeda langsung jatuh cinta kepadanya.

Cerita tentang Ikeda memang hanya bualan saya yang bingung membuka tulisan harus seperti apa. Tetapi semangat micin yang diceritakan tersebut memang benar adanya, micin ada dimana-mana, dipakai oleh siapa saja, untuk menyelesaikan masalah apa saja.

Jangan sekali-sekali kamu menanyakan asal mula micin, itu tidak penting, itu sama saja kamu menanyakan kenapa tiba-tiba Benjen Stark bisa datang dan menyelamatkan Bran dari kejaran zombie, atau menanyakan dari mana asal kekuatan Saitama dan jurus pukulan satu kalinya, tidak begitu cara kerja micin.

Utamanya cara kerja hal-hal diatas adalah guna memastikan cerita agar terus berjalan, tidak peduli seirasional atau se-telek apapun premisnya, karakter utama harus tetap selamat.

Kembali ke Kikunae Ikeda. Penulis tidak pernah tahu apakah benar dia tidak bisa memasak, tetapi yang penulis tahu, dia yang pertama kali menciptakan micin atawa MSG. Sampai sini boleh penulis menyebut micin sebagai mesin, lantaran sama-sama merupakan rekayasa yang dihasilkan teknologi untuk memudahkan suatu pekerjaan atau urusan.

Tetapi yang jadi pertanyaan selanjutnya, kenapa nama Ikeda tidak ada di buku-buku sejarah dasar, bersanding dengan James Watt penemu mesin uap, atau dengan Alexander Graham Bell si penemu telepon? Begini, jika ada revolusi industri yang dipantik oleh mesin-mesin uap ciptaan James Watt, kenapa tidak ada revolusi rasa?

Penulis bisa membayangkan hidup seperti Flitstones jika mesin uap tidak pernah ditemukan, dan penulis tetap senang. Tetapi jika micin tidak pernah ditemukan, ah distopia sekali hidup kita ini.

Micin adalah oase ditengah hambarnya hidup kita sebagai kelas pekerja. Apalagi bagi mereka pekerja nine to five, jam istirahat adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu apalagi kalau bukan untuk menyaksikan abang soto menjumputkan micin dan menaburkannya seperti salt bae ke atas soto pesanan kita.

Makanya penulis kini tidak habis pikir, kenapa generasi sekarang yang diidentikkan sebagai generasi micin, muaranya selalu bersifat negatif. Video viral anak muda yang memberi anggur merah kepada rusa di Taman Safari, “wah pasti itu orang kebanyakan ngemil micin,” atau ketika ada video bocah mengendarai motor ugal-ugalan, “dasar generasi micin.”

Ikeda di Jepang, pasti akan sedih mendengar kreasi terbaiknya dijelek-jelekan ketika micin tetap digandrungi oleh masyarakat Indonesia dalam setiap masakan, ini apa bukan hipokrit namanya?

Demikian, saya hanya ingin membangkitkan rasa penasaran kamu-kamu sekalian, bahwasanya sejak kapan micin lekat dengan narasi kebodohan, khususnya di Indonesia. MSG diciptakan pada 1909 – jauh sebelum Indonesia merdeka, jadi mungkin saja MSG masuk ke Indonesia bersamaan dengan membaiknya kembali kerja sama Indonesia dan Jepang, Suharto dan Kakuei Tanaka. Lalu apakah MSG sejatinya hanya sesederhana sentimen anti Jepang yang masih direproduksi masyarakat Indonesia?

Wanda tau, yang penasaran bisa mencarinya sendiri, mungkin bisa menjadi tema tesis nanti (gayamu jan, tema sendiri aja belum becus).

*Foto digubah dari logo bengkel custom dan streetwear paling trendi, deus ex machina.

Comments

Popular posts from this blog