Skip to main content

Imajinasi Berbayar: Menakar Idoling Dalam Perspektif Jean Baudrillard

Dalam era globalisasi, teknologi menjadi barang penting dalam kehidupan manusia, bahkan sejajar dengan sandang, pangan, dan papan. Hal tersebut telah diramalkan oleh Marshall McLuhan dalam slogannya yang terkenal, “global village”. McLuhan mendefinisikan peradaban manusia sebagai entitas yang sempit karena terhubungnya semua manusia melalu jaringan teknologi.

Hal itulah yang membuat kita hidup dalam percepatan, teknologi dianggap sebagai perpanjangan badan manusia yang membantu manusia memudahkan tiap aspek kehidupannya. McLuhan jelas berpendapat jika era ini merupakan kedigdayaan manusia dalam suatu transisi modern untuk menaklukkan batasan ruang dan waktu.

Tetapi tidak menurut pandangan konsumerisme, Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis menyatakan jika pandangan McLuhan tentang implikasi modernitas akan mengakibatkan munculnya ekses negatif sebuah peradaban. Menurut Baudrillard teknologi tidak hanya menjadi perpanjangan badan saja, tetapi juga membentuk sebuah realitas baru. setelah datang “global village” muncullah “hyperreality village”.

Selain mengkritik pemikiran McLuhan, Baudrillard juga mengkritik pemikiran Marx tentang aktivitas konsumsi sebagai nilai-guna dan nilai-tukar, menurutnya aktivitas konsumsi lebih didasari kepada prestise dan kebanggan simbolik, bukan kegunaan. Nilai-tanda dan nilai-simbol yang Baudrillard kembangkan agaknya memang cocok untuk dipoleskan dalam wajah kehidupan modern saat ini, tentang bagaimana masyarakat yang mengkonsumsi hanya karena prestise, kebanggan, dan realitas yang akan mereka bangun.

Di Indonesia sendiri, budaya serta gaya hidup sudah menjadi komoditi yang bisa diperdagangkan. Semisal gaya hidup bersepeda atau lari, keduanya merupakan gaya hidup yang kembali dimunculkan, dengan realitas yang berbeda. Tentu semua tahu jika olahraga lari adalah olahraga tradisional sebelum semua alat fitness bermunculan, tetapi realitas sekarang, lari bukan lagi dijadikan sebagai olahraga, tetapi lari telah dijadikan sebagai sebuah kebanggan dan prestise semata, lari telah kehilangan esensinya sebagai sebuah olahraga.

Bagaimana dengan kegiatan idoling? Bagi mereka yang disebut sebagai fans JKT48, pasti mengenali term “loyalitas tanpa batas”. Sebagai fans JKT48, mengapa sebutan loyal harus muncul dalam kegiatan idoling anda? Lalu apa yang menjadikan anda loyal maupun tidak loyal terhadap oshi -nya? Yang lebih penting, apa yang anda cari dari kegiatan idoling ini?

Idoling di Indonesia: sebuah realitas baru?
Sebenarnya kegiatan idoling telah lama muncul jauh sebelum JKT48 melakukan debutnya, dahulu kegiatan idoling merupakan proyeksi kekaguman beralasan akan seorang figur publik, contohnya Soekarno. Sebagai figur publik, proklamator, pemimpin dan Presiden RI pertama, Soekarno wajar jika dikagumi dan diidolakan oleh banyak rakyatnya.

Pada saat itu idoling belum populer dibicarakan, setelah JKT48 muncul barulah terminologi idoling bisa diaplikasikan oleh fans mereka. JKT48 menasbihkan terminologi idol sebagai milik mereka, pun dalam berbagai kesempatan, baik fans maupun JKT48 menolak disebut jika mereka adalah girlband. Menciptakan realitas sebagai seorang idol, jelas jika JKT48 ingin diidolakan dan dikagumi oleh massa, sama seperti Soekarno.

Dalam buku Idols and Celebrity in Japanese Media Culture, idol atau aidoru diartikan sebagai “highly produced and promoted singers, models, and media personalities”. Sebagai penyanyi maupun model, idol memiliki keberadaan yang diproduksi secara tinggi untuk memenuhi komoditas pasar. Aoyagi Hiroshi dalam tesisnya yang berjudul Islands of Eight-Million Smiles: Pop-Idol Performances and The Field of Symbolic Production juga menyatakan dalam perspektif antropologi, jika japanese pop-idol dikarakterisasikan seperti yaoyorozu no kami atau “eight-million gods”.

Dalam mitos, “eight-million gods” merupakan kumpulan dewa yang memiliki bermacam-macam kepribadian, masing-masingnya memiliki peran yang berbeda dan memiliki kekuatan yang berbeda-beda pula. Seperti “eight-million gods”, pop-idol juga memiliki banyak pengikut walaupun personal dan citranya dibangun secara komersil oleh agensi besar.

Demi tercapainya tujuan komersil, idol membutuhkan pasar – masyarakat yang bisa mengidolakan dan mengkonsumsi mereka, karena itulah fans muncul. Dalam fan-consumer, idol dijadikan objek dari gairah akan fantasi dan konstruksi ideal yang merefleksikan perasaan emosional yang dalam.

Antusiasnya fans Indonesia dalam mengonsumsi JKT48 sebagai salah satu produk budaya Jepang, bisa dikategorikan sebagai “otaku”. Otaku yang menurut Aoyagi bisa diartikan sebagai “lunatic” muncul sebagai disfungsi sosial dengan gejala psikologis.

Dalam buku yang ditulis Hiroki Azuma yang berjudul Otaku, dia juga menulis jika term otaku ditujukan kepada orang-orang yang secara fanatis mengkonsumsi, memproduksi, dan mengkoleksi manga, anime, dan semua produk yang berhubungan dengan budaya populer serta mereka yang berpartisipasi dalam produksi dan penjualan dari merchandise terkait.

Setelah 1988-89, term otaku berubah negatif akibat penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan Miyazaki Tsutomu kepada beberapa gadis muda. Setelah itu banyak orang yang menolak untuk disebut sebagai otaku, bahkan fans JKT48 di Indonesia juga menolak untuk disebut sebagai wota (idol-otaku).

Sebagai wota atau fans, kegiatan idoling bagi mereka merupakan wujud dari sebuah eksistensi. Seakan diamini oleh Baudrillard, menurutnya aktivitas konsumsi dari masyarakat kapitalis lanjut hanya menjadikan kehidupan tak lebih dari sebagai objek, atau komoditas yang digunakan untuk memenuhi pemaknaan dan eksistensi atas diri mereka (fans).

Idol-goods: sesuatu yang harus dimiliki.
Dalam perspektif Marx, bagaimana barang bisa dijadikan komoditas ekonomi selalu terkait dengan nilai-guna dan nilai-tukar dari barang itu sendiri. Nilai-guna bisa diartikan sebagai nilai yang secara ilmiah bermanfaat bagi kepentingan manusia, sedangkan nilai-tukar dimaknai sebagai kelanjutan dari nilai guna sebagai bargaining untuk ditukarkan (contohnya dengan uang).

Lalu apakah konsep Marx ini masih relevan dengan fenomena idoling? Dalam JKT48, sebuah eksistensi bagi fans adalah ketika mereka dianggap oleh member atau oshi dan komunitas fans itu. Maka dari itu, sepertinya nilai-guna dan nilai-tukar sudah tidak relevan lagi akan kehidupan masyarakat kapitalis lanjut.

Jika dilihat dari konsep nilai-guna, beberapa idol-goods memang tidak memiliki manfaat ilmiah bagi para penggunanya (baca: fans). Misalnya photopack atau teater, keduanya tidak bermanfaat meskipun keduanya memiliki nilai-tukar yang tinggi.

Tingginya nilai-tukar komoditas tersebut meski manfaatnya kurang terasa membuat pandangan Marx menjadi irelevan. Karena itu Baudrillard muncul dan menyajikan konsep nilai-tanda dan nilai-simbol untuk disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini, yang penuh dengan tanda dan hiperreaitas.

Menurut Baudrillard, status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, serta kemewahan dan kehormatan merupakan bagian dari nilai-tanda dan nilai-simbol sebagai motif utama masyarakat konsumen saat ini.

Jika aktivitas konsumsi hanya sebagai simbol semata, bagaimana relevansinya dengan kegiatan konsumsi para fans JKT48? Lalu simbol apakah yang ingin para fans JKT48 cari melalui aktivitas konsumsi mereka?

Terkait dengan eksistensi mereka akan oshi, bisa ditarik hipotesis jika simbol yang ingin mereka maknai adalah simbol kepemilikan, mereka mengukur seberapa tinggi tingkat kedekatan mereka dengan oshi melalui aktivitas konsumsi mereka.

Lalu mengenai eksistensi mereka dengan lingkungan sekitar, simbol yang bisa dimaknai adalah simbol prestise atau kejayaan. Aktivitas konsumsi mereka dilakukan atas dasar “seberapa lama saya di fandom ini” dan “bagaimana pentingnya kontribusi saya akan fandom ini”.

Tentu saja banyak orang yang memungkiri akan eksistensi mereka di fandom ini sebenarnya, mereka menolak jika dilabeli sebagai “orang yang datang hanya untuk menonton perempuan”, mereka lebih suka dibilang “datang untuk melihat perkembangan idolanya menjadi bintang”. Banyak yang melakukan self denial, termasuk saya yang menyembunyikan fakta jika saya adalah fans juga.

Ilmu semiotika mengajarkan saya untuk melihat tanda didalam tanda, entah manusia menyadarinya atau tidak, mereka memegang simbol-simbol yang bahkan diri mereka sendiri tidak tahu, saya berharap bisa mengungkapnya. (MFA)

Disclaimer: Tulisan ini  murni opini, segala hal yang didalamnya belum bisa dipertanggungjawabkan.

Referensi:
“Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard” oleh Medhy Aginta Hidayat.

“Otaku: Japan’s Database Animals” oleh Hiroki Azuma.

“Idols and Celebrity in Japanese Media Culture” oleh Patrick W. Galbraith dan Jason W. Karlin


Islands of Eight Million Smiles: Pop-Idol Performances and The Field of Symbolic Production”  oleh Hiroshi Aoyagi.

Comments

Popular posts from this blog