Skip to main content

Dilema Generasi Transisi

Tidak terlalu segar dalam ingatan, jika 16 tahun lalu terjadi sebuah euforia besar akan runtuhnya sebuah rezim, yang korup, otoritarian, dan militeristik. Wajar saat itu, karena umur saya yang baru menginjak enam tahun, tidak terlalu mengerti, “euforia tentang apa ini sebenarnya?”.

Walaupun saya tidak terlalu merasakan kejamnya Orde Baru secara langsung, tetapi saya belajar, saya membaca, juga mendengarkan, bagaimana kisah orang-orang yang hidup pada era tersebut, bercerita lewat buku-buku dan jurnal.

Lalu masuk era reformasi, era dimana saya hidup dan dewasa, merasakan secara langsung Reformasi, saat saya hanya menyelami sejarah Orde Baru melalui pandangan orang-orang. Dalam era Reformasi sekarang ini, rasa mual saya terhadap Orde Baru sangat tidak tertahankan, yang paling parah, fakta jika tiang-tiang pancang kekuasaan mereka dibangun dengan politik seksual, “mempersetankan” perempuan komunis, lalu menjadikan 1,5 juta masyarakat Indonesia sebagai tumbal hegemoni mereka selama 32 tahun, adalah buah kebencian saya yang paling mendalam, “berangus habis mereka” pikir saya.

Saya juga benci era reformasi, era yang katanya membalikkan semua yang keblinger ke jalan yang benar, tetapi seakan melupakan kejadian masa lampau, bagaimana dengan nyawa 1,5 juta rakyat Indonesia yang telah dibabat habis? Bagaimana dengan para perempuan Gerwani yang menderita karena kebiadaban tentara? Bagaimana dengan kepastian hukum para aktivis yang sampai sekarang masih hilang? Para korban penembakan? Para korban petrus? Memang kelam, bagaimana agung dan adiluhungnya bangsa Indonesia, ternyata dibangun dari darah orang-orang tidak berdosa, dan sampai sekarang, kita tetap bungkam dan kita tetap diam.

Sekarang, Pemilu Capres-Cawapres 2014 akan digulirkan, kedua kubu, dari Prabowo-Hatta (No.1) sampai Jokowi-JK (No.2) mulai melancarkan kampanye, dan kemarin baru menjalankan debat terbuka. Sepenglihatan saya, angin lebih berhembus ke arah No.2, bukan apa-apa, dibandingkan dengan No.1 yang mewariskan semangat Orde Baru yang otoriter dan fasis, No.2 adalah figur yang katanya bersih, jujur, dan populis, tetapi benarkah seperti itu?

Kans No.1 untuk menang pemilu putaran pertama akan sangat kecil, saya mengakui jika dalam debat kemarin (09/06) mereka telah kalah dengan lawan politiknya, masyarakat sebenarnya sudah gerah dengan tema konseptual tentang suatu negara, terlalu normatif dan berputar-putar.

Sebaliknya No.2 lebih memberikan pemaparan yang praktis dan kebijakan-kebijakan logis, disisi lain, akibat track record No.1 yang buruk, banyak jawaban-jawaban mereka yang kontradiktif dan tidak sesuai dengan kenyataan, singkat kata, 1-0 untuk No.1.

Saat kans No.1 untuk menang menjadi kecil, yang lain mulai digandrungi dan dielu-elukan untuk menjadi pemimpin bangsa. Lalu apakah No.2 lebih baik daripada No.1? Tidak juga. Ternyata anasir-anasir Orde Baru juga terdapat dalam koalisi yang katanya “tanpa syarat” dari pasangan urut No.2 ini, sebut saja Cawapres Jusuf Kalla, yang dalam film dokumenter The Act Of Killing seakan mengamini dan melenggangkan aksi heroik ormas fasis dalam memberantas kaum komunis pada masa lampau. Menyedihkan.

Lalu yang lainnya juga sama saja, Surya Paloh juga pernah menjadi anasir Golkar, seorang yang ambisius, dan pemilik media yang “menggurita”. Sepak terjangnya dalam film Dibalik Frekuensi membuktikan, ambisinya akan kekuasaan membuat dia tega memberangus hak berserikat dan berpendapat dari buruhnya sendiri.

Bagaimana dia aktif membuat kebijakan pro-buruh, jika kenyataannya melindungi buruhnya sendiripun dia tidak mampu? Sampai saat ini, “koalisi tanpa syarat” terdengar seperti dagelan bagi kuping saya.

Wiranto juga sama saja, dia juga anasir Golkar, dan Jenderal Orba yang berkaitan langsung dengan kerusuhan Mei ’98. Aksi kontroversialnya dalam mengajak semua perwira tinggi ke luar Jakarta saat kerusuhan melanda, juga menjadi sebuah pertanyaan besar.

PAM Swakarsa yang dia ciptakan untuk memecah-belah kekuatan massa yang menolak Sidang Istimewa MPR 1998 pada saat itu, merupakan sinyalemen bahwa Wiranto juga menerapkan politik adu-domba dan kambing-hitam untuk mengamankan negara.

Entah figur Jokowi yang sampai sekarang masih bersih, sehingga banyak orang-orang yang menjadi relawan, mulai menggandrungi dirinya. Atau mereka memilih Jokowi, karena semata-mata mereka tidak mau Prabowo menjadi presiden karena hanya akan memutar kembali sejarah masa kelam, tentang Orde Baru yang begitu represif.

Saya rasa tidak ada calon yang benar-benar baik pada saat ini, tetapi dalam pemikiran progresif, saya rasa Jokowi kali ini lebih cocok karena lebih mewakili wong cilik. Asal, dia tidak gampang digoyang, atau dipatahkan kebijakan pro-rakyatnya, semoga dia tidak benar-benar menjadi seorang “capres boneka”.

Tetapi setelah melihat gelagatnya, saya pesimis juga, majunya dia sebagai capres yang sangat terburu-buru, serta pernyataan-pernyataannya yang secara eksplisit mengatakan “saya nyapres karena didorong oleh orang tertentu, bukan kemauan sendiri”, sangat menyiratkan jika figurnya yang populis ini hanyalah “berhala” yang dipahat untuk memuaskan rasa haus kaum tak-tercerahkan demi kepentingan si pemahat “berhala” itu sendiri.

Lalu mengenai pilihan politik saya, saya bingung juga, berarti saya harus memilih yang paling baik diantara yang paling buruk, hah.. saya tidur saja.


PS: Semoga saya salah dan Tuhan itu benar. 

Comments

Popular posts from this blog