Nun jauh disana, ada negeri yang katanya sama dengan surga,
rakyatnya tidak memakai baju, telanjang tanpa sehelai benang pun menutupi. Di
negeri itu, rakyatnya tidak bekerja, mereka tidak mengenal uang, nir-ketamakan.
Mereka tidak tamak karena memang tidak memiliki hak
kepemilikan atas suatu barang, bahkan untuk bagian tubuh mereka sendiri, mereka
tidak memilikinya. Memang, Utopia adalah negara yang selalu diidam-idamkan,
katanya.
Negeri Utopia sudah bergaung, bahkan sejak abad ketujuh
Sebelum Masehi bergulir. Saat itu Hesiodus, sangat mendambakan dirinya untuk
bisa pergi ke Utopia. Katanya, “aku sangat mendambakan negara, dimana manusianya
tidak memiliki nafsu dina untuk memiliki, tidak ada ‘milikku’ dan ‘milikmu’,
semuanya hidup senang dengan adil karena ada cukup barang bagi semua.”
Banyak yang mendambakan, atau setidaknya berandai-andai
untuk bisa pergi ke sana. Mulai Plato, Socrates, Aristoteles, Thomas Moore,
sampai Karl Marx.
“Di Utopia tidak ada perang!” Kata Plato, “perang muncul
karena ketamakan, ketamakan muncul karena ada rasa kepemilikan, dan Utopia
tidak memiliki itu!” Teriak Plato berapi-api sambil disaksikan muridnya.
Lalu, banyak pertanyaan bermunculan, “Plato, bagaimana
dengan cara Utopia menjalankan sistem kenegaraan? Apakah mereka juga mengadakan
pemilu? Apakah Utopia menganut sistem demokrasi?”
“Demokrasi sudah
terlalu lama! Mereka menciptakan persaudaraan kolektif! Yang commune!” ucap Plato.
Begitulah, alkisah tentang negeri antah-berantah yang
katanya digdaya, Utopia dielu-elukan tapi mulai sirna seiring berkembangnya
zaman. Utopia digantikan dengan Amerika (Serikat), Utopia ditinggalkan dan
Amerika diagungkan.
Padahal saya mafhum, jika negeri kita yang tercinta dan
terpaut ribuan mil jauhnya dari Utopia, yaitu Indonesia, dulu hampir menjadikan
Utopia sebagai kiblat pembangunan dan kiblat ekonomi mereka, sepertinya.
Sekarang Indonesia masuk dalam era kapitalisme, era dimana “milikku
ya milikku” dan “milikmu ya hanya milikmu”, era dimana “anda harus bekerja
untuk mendapatkan kesenangan, bahkan hingga anda harus berdarah-darah”. Kapitalisme
membuat hal itu terwujud.
Berpuluh-puluh tahun sebelumnya, Karl Marx sudah meramalkan,
akan era kapitalisme yang sedang digandrungi. “Jangan takut! Komunisme adalah
sebuah keharusan, dan kapitalisme akan menjadi awalnya.” Ujar Marx.
Mungkin Marx ada benarnya, di era si kaya yang makin
menggila, dan si miskin yang makin tercekik, mau tidak mau harus ada yang
menghentikan hal ini, dengan paksaan. Marx menyebutnya sebagai “reaksi berantai”,
katanya, sistem kapitalis yang mengharuskan industri mengeksploitasi buruh,
akan menciptakan kelas sosial.
Kelas tersebut akan menciptakan kelas si miskin, dan kelas
si kaya. Kelas si kaya yang menganut kapitalisme pasar bebas bersaing untuk
terus berekspansi demi melebarkan produksinya, dan si kaya yang tidak sanggup
bertahan, harus collapse dan masuk
kedalam kelas si miskin. Begitulah maksud “reaksi berantai” yang dikatakan oleh
Marx.
Reaksi tersebut terus berakumulasi, hingga kelak komunisme
menjadi keniscayaan, tentang negeri yang tidak mengenal hak kepemilikan.
Mungkin Marx tidak sepandai Nostradamus, maupun Jayabaya, yang perkataannya
sering menjadi keniscayaan di masa yang akan datang.
Marx hanya berangan-angan, andai saja negeri Utopia bisa
kita terapkan di negeri-negeri yang lain, “alangkah indahnya,” katanya.
Kemarin saya membaca jurnal Indoprogress disini. Tentang seorang
wanita yang mengungkapkan kegamangannya tentang zaman yang makin edan, zaman
dimana kapitalisme, sebagai sebuah panggung, kerap menghadirkan si kaya dan si
miskin di waktu yang bersamaan.
Di panggung yang sama saat kita menikmati dinginnya AC di
kamar, petani kemenyan di Porsea sedang berjuang karena hutan adatnya disulap
menjadi hutan eucalyptus, demi
kepentingan industri. Di sisi lainnya, suku anak dalam Jambi kehilangan tempat
tinggal karena merajalelanya perkebunan kelapa sawit. Kapitalisme menggerogoti
kita, kapitalisme menelanjangi kita.
Kita yang lain berjuang, di saat kita lainnya yang pandir,
hanya terlena dengan apa yang negara telah berikan. Kita lalai untuk menyadari,
negara telah mengebiri gagasan egaliter manusia yang menganggap “semua manusia
itu sama, dan berhak mendapat perlakuan yang sama”, karena kepentingan uang
semata.
Negara sebagai sistem hanya memberikan kita dua pilihan,
mengikuti, atau mati. Kita yang sadar hanya bisa berdiam diri dan berdamai
dengan kenyataan. Setidaknya itu kata Herry Sutresna, salah satu orang yang
tulisannya bisa menginspirasi saya. Jelas, Herry Sutresna tidak mempercayai
negara, dan memakai gerakan akar rumput untuk menyuarakan kritiknya, melalui
hip-hop. Setidaknya dia berjuang dan masuk barisan.
Hari ini saya mencoblos (09/04), entah kenapa saya tidak
memilih untuk golput. Sebagian orang mencibir, “golongan putih tidak pantas
untuk mengkritik pemerintahan! Karena mereka tidak ikut andil dalam memberikan
suaranya.” Yang lain juga berkata, “golput sama saja dengan memberikan suara
kita pada koruptor!”.
Saya pesimis, golput atau tidaknya toh negara akan selalu
sama untuk tahun-tahun kedepannya. Ingatkan dan yakinkan saya jika saya salah,
negara sebagai sistem hanya membuat si kaya tidak mau membagi keadilannya pada
si miskin, sedih, karena keadilan bagi negara tidak ubahnya rogohan kocek dalam
kantong.
Lalu kenapa saya masih
harus mencoblos? Apakah dengan keikut-sertaan saya dalam pemilu membuat
Indonesia bisa berubah ke arah yang lebih baik? Tidak, saya hanya memikirkan
perkataan bapak saya, “pemilu itu diselenggarakan dengan duit negara, duit
rakyat, jika kamu menyia-nyiakan hak pilih tersebut, itu sama saja dengan kamu
menyia-nyiakan duit kamu sendiri.”
Saya tahu harus ada yang dikorbankan, Pikiran Rakyat melansir, dana yang digelontorkan demi tercapainya
pemilu mencapai angka Rp 115 triliun, itu bukan uang yang sedikit, itu uang
yang banyak, sangat banyak. Karena itu saya berpikir, golput tidak akan membuat
saya lebih baik dari para petani yang ditembaki, saya paham, tidak boleh ada
pemborosan sekecil apapun di masa sekarang ini.
Katanya negara kita demokrasi, maka dari itu pemilu
diadakan, demokrasi dengan sistem perwakilan. Makanya, bapak-bapak samping
rumah saya niat banget untuk koar-koar untuk menghitung suara, demi terwakilnya
suara kita nanti.
Yakin mereka mewakili kita? Tahu darimana? Pernah kita
bertemu dengan mereka? Apa yang membuat mereka bisa kita percaya? Tidak ada.
Kita menggantungkan kehidupan pada mereka yang sama sekali belum kita kenal,
tetapi saat kita menolak untuk menggantungkan hidup kita, kita disalahkan, kita
dicibir, “katanya kita tidak berhak!”, lalu apa daya, kita bagian dari sistem
yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Sore mulai bergulir, saat terdengar gegap-gempita quick count di televisi, dan koar-koar
para penghitung suara di TPS terdekat, ribuan mil nun jauhnya, negeri Utopia
sedang merayakan kejadian yang hampir serupa, bedanya, mereka tidak
terwakilkan, mereka membawa diri mereka sendiri, sebagai satu kesatuan yang kolektif
dan komunal. Sementara kita sekarang, sukses merayakan kebanalan, tabik. (MFA)
Ps: Seraya menulis mendengarkan lagu-lagu Homicide, saya
jadi teringat kata-kata Ucok atau Herry Sutresna, katanya, “Don’t vote, But Organize.”
Sumber:
Komunisme: Sebuah Sejarah (Richard Pipes)
Comments
Post a Comment