“Bagiku, jika dulu golput adalah perlawanan, sekarang golput adalah ketidak-pedulian, karena membiarkan kejahatan kembali berkuasa.” – Kill The DJ
Pernyataan Kill The DJ A.K.A
Marzuki Mohammad diatas, kembali membangkitkan pertanyaan masyarakat tentang
wacana golput dan relevansinya pada masa kini. Golput saat Orde Baru memang dipakai
sebagai alat perlawanan, karena pada era tersebut jelas pemilu yang diadakan adalah
fiktif dan manipulatif.
Orde Baru sekarang berganti ke
era Reformasi, meskipun begitu kenyataan “jika masih banyak yang golput” tetap
tidak berubah, golput saat itu memang mewakili kaum muda apatis yang sering dilabeli
hipster. Dalam tulisan M. Fajri
Siregar di laman jakartabeat.net, hipster bisa diartikan sebagai kaum muda
yang tidak bisa ditelisik bentuk preferensinya.
Terlepas dari galaunya anak hipster, pada pemilu 2009 angka
persentase golput menyentuh titik tertinggi dengan 39%, setelah sebelumnya 8%
(1999), dan naik sampai 23% pada 2004. Bahkan Tamrin Amal Tomagola yang dikutip
dari indoprogress.com meramalkan jika
proyeksi persentase golput bisa mencapai 57% pada pemilu 2014.
Sekarang wacana golput sebagai
alat perlawanan mulai diganti sedikit demi sedikit, tren para
#kelasmenengahngehek yang sangat nasionalis, bahkan nyerempet fasis mulai
ditinggalkan, sepertinya kredo akan “Indonesia yang menjadi macan Asia” mulai
basi dan sudah tidak asik lagi.
Maka dari itu Kill The DJ mulai menyuarakan
wacana golput sebagai alat ketidak-pedulian, sebagai relawan Jokowi – JK tentu
saja dia akan mengajak orang lain untuk mengikutinya, walau tidak secara eksplisit. Tren
nasionalisme yang ditinggalkan, digantikan oleh figur pemimpin liberal yang “merakyat”,
jadi agaknya jelas mengapa wacana tersebut dicanangkan, dan akhirnya kepada
siapa angin akan berhembus, bukan lagi menjadi rahasia.
Lalu bagaimana dengan wacana
golput yang lain? Kemarin, oke sebenarnya memang bukan kemarin, lebih tepatnya 21
Mei 2014, Grimloc Records telah meluncurkan album kompilasi mereka dengan tajuk
“Memobilisasi Kemuakan”. Album yang diisi oleh 12 band berbeda ini berasal dari
Bandung, yang menjadi bagian dari komunitas kolektif yang mereka sebut sebagai network of friends.
Tidak hanya 12 lagu kompilasi
berbeda, album unduh gratis ini juga menyediakan dokumen digital untuk membantu
album tersebut lebih garang lagi dalam menyuarakan wacana anti-otoritarian dan wacana
alternatifnya tentang demokrasi.
Karena kompilasi ini dibagi dua,
yaitu album musik dan dokumen digital, saya hanya akan mengulas konten dari
dokumen digital mereka yang berjumlah 21 halaman, dan menyajikan apa sebenarnya
wacana yang mereka tampilkan, mengenai anti-otoritarian dan alternatif demokrasi yang lain.
Demokrasi kotak suara.
Dalam introduksi yang berjudul “Kontra-Wacana
Demokrasi Kotak Suara” mereka secara gamblang menyatakan jika demokrasi
perwakilan merupakan wacana yang melenggangkan otoritarian, sistem kotak suara
tersebut akan melenggangkan dan memunculkan otoritarian baru, karena bagi
mereka tidak ada yang berubah, selama pemilu kotak suara ini digulirkan,
masyarakat yang tinggal di pelosok tidak mengalami perbaikan nasib.
Mereka menulis, “tak ada yang
berubah, terlebih bagi mereka yang di pelosok sana yang jauh dari pantauan
kamera kelas menengah, yang berjuang hidup mati untuk keberlangsungan hidup
mereka, dan apapun yang pemilu hasilkan tidak merubah hidup mereka.”
Wacana ini bagi saya sangat
fenomenal, mereka tidak hanya mencaci sistem demokrasi Indonesia puluhan tahun
yang menurut mereka bobrok, wacana mereka untuk mengganti demokrasi kotak suara
berarti me-revolusi dan merombak ulang sistem politik demokrasi parlementer
Indonesia. Masif.
Karena mereka menyebut hal ini
sebagai wacana alternatif, tentunya mereka juga menawarkan pilihan lain, “jika
bukan kotak suara, lalu demokrasi apa lagi?”. Untuk mengetahuinya lebih lanjut,
kita bisa membaca artikel dalam dokumen digital yang terbagi dalam empat bab
ini; bab pertama berjudul “Demokrasi Langsung: Sebuah Alternatif
Anti-Otoritarian”; bab kedua berjudul “Mengapa Demokrasi Perwakilan Bukanlah
Demokrasi?”; bab ketiga berjudul “Tak Ada Demokrasi Dalam Kotak Suara”; lalu
bab terakhir memiliki judul “Golongan Putih: Dari Alienasi ke Oposisi”.
Keempat tulisan tersebut muncul
bukan berdasarkan niat akan terbitnya kompilasi ini, keempat tulisan itu memang
sudah dibuat dan hanya dikumpulkan kembali. Dari keempat tulisan tersebut, tiga
tulisan pertama kali diterbitkan oleh Jurnal Kontinuum pada 2008, sedangkan
tulisan keempat meminjam artikel dari indoprogress.com.
Balik ke wacana awal, mengapa
demokrasi perwakilan itu otoriter? Dirunut dari sisi sejarahnya, cikal-bakal demokrasi
perwakilan memang berasal dari Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Pada saat itu untuk
melanjutkan demokrasi klasik (langsung) karena terbatasnya tempat dan populasi
masyarakat yang terus meningkat, maka disitulah muncul “dewan rakyat” yang
mewakili populasi masyarakat yang kian banyak.
Tapi sayangnya, mimpi demokrasi
yang membuat rakyat berdaulat, tidak terdengar manis. Di Athena dan Romawi,
untuk menjadi seorang perwakilan haruslah pria, warga asli, bukan budak, dan
memiliki kekayaan setidaknya 5000 drakhma dan tanah sekian hektar.
Dari dulu mereka telah
mempraktekkan sistem demokrasi perwakilan yang katanya memang “mewakili”,
kenyataannya mereka cuma melenggangkan hegemoni otoritarian saja. Bagaimana
bisa mewakili semua suara rakyat jika dewan yang terpilih hanya bisa muncul
dari golongan tertentu saja? Parahnya lagi demokrasi tersebut hanyalah sistem otoritarian
gaya baru, kita dipaksa memilih saat pilihan tersebut tidak ada yang
benar-benar baik dan mewakili kita.
Pada masa sekarang, prakteknya
pun sama saja tak ubahnya saat di Yunani dan Romawi Kuno. Tidak mudah untuk
mewakili rakyat, simpelnya tidak ada rakyat biasa yang bisa mewakili rakyat
biasa lainnya, mereka memerlukan sesuatu yang bisa membedakan, yaitu modal. Tepatnya
uang.
Demokrasi modern yang diwakili
oleh pemilu, bagi mereka hanya menjadi demokrasi semu saja. Dalam artikel bab
dua yang berjudul “Mengapa Demokrasi Perwakilan Bukanlah Demokrasi?”, disitu
tertulis jika sistem tersebut menopang kekuasaan dengan memojokkan masyarakat
luas, dengan cara yang sama yaitu “mengatasnamakan orang banyak” padahal tidak
ada otonomi diantara rakyat yang tentunya haus akan keadilan.
Demokrasi langsung.
“Dalam demokrasi langsung semua
proses pengambilan keputusan diselenggarakan dari bawah.” Penggalan kalimat
tersebut muncul pada bab pertama, yaitu “Demokrasi Langsung: Sebuah Alternatif
Anti-Otoritarian”.
Seperti yang telah kalian baca,
demokrasi perwakilan mengedepankan wakil atau representasi, tetapi dalam
demokrasi langsung yang ada hanyalah delegasi. Perbedaannya jika representasi
sudah tidak bisa diganti lagi setelah pemilu selesai digulirkan, delegasi dapat
di-recall atau diganti oleh pemberi mandat jika delegasi tidak menjalankan
fungsinya dengan benar.
Perbedaan mendasar yang lain ada
pada pengambilan keputusan, saat representasi bisa ikut dalam mengambil
keputusan apa saja, demokrasi langsung – dalam hal ini delegasi hanya dipilih
untuk melaksanakan keputusan tertentu saja. Menyenangkan membayangkan jika
demokrasi langgsung dapat membuang pemikiran kita jika “kinerjanya ngga bagus, kita ngga usah pilih dia lagi pemilu nanti”.
Perbedaan lainnya ada pada
penentuan nasib, dalam demokrasi perwakilan, semua orang di DPR memiliki
kekuasaan yang hampir mutlak dalam menentukan nasib masyarakat. Tetapi dalam
demokrasi langsung sistem pengambilan keputusan dilangsungkan dari bawah, baik
menggunakan voting maupun
alternatifnya.
Secara umum demokrasi langsung
memiliki sistem politik yang terdesentrasilisasi, berbeda dengan demokrasi
perwakilan yang keputusannya sangat tersentralistik dan hirarkis. Network of friends menjadikan demokrasi langsung sebagai perangkat untuk
menciptakan negara yang lebih terdesentraslisasi, dengan jaringan sosial yang
tidak hirarkis dan tidak otoritarian.
Realistis atau tidak?
Demokrasi langsung mungkin
merupakan dambaan, bagi mereka yang suaranya tidak pernah didengar dan
dipikirkan. Tetapi sejujurnya mengubah sistem politik bukan hal yang mudah,
reformasi akan memakan waktu yang sangat lama karena banyaknya orang yang persistent akan sikap mereka yang
antipati. Revolusi juga bukan merupakan pilihan yang bijak, revolusi
membutuhkan pengorbanan, baik tenaga maupun darah, dan kata tersebut bukan kata
yang pantas dipermainkan maknanya.
Setelah membaca keseluruhan
dokumen digital tersebut, network of
friends saya rasa kurang fokus dalam memprioritaskan wacana alternatif demokrasi
yang sebenarnya lebih ingin didengar oleh masyarakat. Dari keempat tulisan yang
mereka kumpulkan, praktis hanya satu tulisan saja yang bercerita tentang
demokrasi langsung, sisa tulisan lainnya hanya mengkritisi wacana otoritarian
yang masuk dalam sistem demokrasi perwakilan.
Padahal saya sebagai pembaca
ingin lebih detil lagi tahu bagaimana cara mengoperasikan dan merealisasikan
demokrasi langsung, saya tidak berbicara konteksnya secara nasional, jika
demokrasi langsung bisa kita mulai dari bawah, bagaimana cara memulainya? Hal tersebut
tidak secara jelas tertulis di booklet ini.
Semua sistem yang utopis
didasari oleh kehendak manusianya yang begitu bebas, mulai dari komunis yang
menghapus hak-hak kepemilikan sampai demokrasi langsung yang mengedepankan
semua keadilan individual, agaknya terdengar jauh dari kata realis.
Bagaimana menyeragamkan kemauan
kolektif yang berbeda-beda dengan tetap mengedepankan solusi “sama-sama menang”
dari tiap-tiap komunitas? Apakah sistem demokrasi langsung ini yakin jika
pengambilan keputusan yang diambil secara kolektif tidak akan berseberangan
dengan komunitas lainnya? Jika berseberangan bagaimana cara menyelesaikannya?
Masih banyak hal-hal yang perlu
dikaji lebih dalam, walaupun saya secara personal
memang mendukung demokrasi langsung ketimbang demokrasi perwakilan yang
memuakkan, tetapi tentunya saya berharap jika wacana ini tidak terbatas oleh booklet, tetapi bisa merambah ke fase
selanjutnya yang lebih besar.
Manusia bebas memilih, bagi mereka yang
mendukung jalannya demokrasi langsung, golput masih relevan menjadi alat
perlawanan untuk menolak sistem otoritarian, kita bisa memilih, kiri, entah
kanan, maupun tidak keduanya, tidak bisa dipungkiri jika itu merupakan sebuah
pilihan juga.
Saya bisa mentertawakan pernyataan
Kill The DJ yang menganggap golput merupakan aksi ketidak-pedulian dan
antipati, karena menurut saya golput masih relevan menjadi alat perlawanan
sampai sekarang, saya juga bisa mentertawakan diri saya sendiri, yang getol menulis artikel ini saat revisi
skripsi masih belum ditunaikan, tetapi ya
itu tadi kita mempunyai pilihan kan? (MFA)
Comments
Post a Comment