Beberapa hari lalu, saat jakarta sedang kadung dengan hujan
terus-menerusnya, saya menemukan bahasan menarik. Lebih menariknya lagi, bahasan
menarik ini tidak turun dari situs-situs keren dunia jaringan, tetapi datang
dari saluran televisi pelopor yang pada masa turun-naiknya harga cabe sedang nge-hype, sejajar dengan hype-nya goyang cesar pada dekade
sekarang ini. Sebuah acara diskusi, mini
dan cenderung kontemplatif, bukan macam klub pengacara yang tak ubahnya dengan
tukang adu otot yang biasa berkeliaran di halte-halte sekitar.
Soegeng Sariadi Syndicate adalah nama acara diskusi tersebut
(entah Sariadi atau Sarijadi), dengan gaya sindikasi yang merenungkan tentang
arti perubahan, acara yang disingkat SSS ini sukses mempertahankan saya untuk
betah berlama-lama di depan tv, apalagi di depan tv yang katanya “hidup segan,
mati tak mau” ini.
Temanya cenderung populer, tentang pemilu 2014 melalui kacamata
kebangsaan. Pembicaranya pun berat, berat tidak secara literal, lebih berat ke
pemikiran sepertinya, entahlah, saya juga tidak yakin. Ada wartawan senior
Tempo, juga ada orang yang tidak terlalu saya perhatikan itu siapa. Yang paling
membekas adalah hadirnya Radhar Panca Dahana, budayawan favorit saya yang
kehadirannya jarang ditampilkan kembali di tv-tv mainstream. Oke, karena
itu saya menjulukinya dengan budayawan alternatif, yang buah pikirannya kadang membuat
saya berpikir, “anjing.. jadi begitu toh”.
Sangat mengagetkan dengan buah-buah pemikirannya yang meledak, sehingga
mungkin tv-tv komersial tidak menyukainya lagi untuk mengundangnya sebagai
narasumber.
Kali ini Radhar Panca Dahana kembali membuat saya bergidik,
wartawan senior Tempo disampingya, yang kasak-kusuk soal Plato yang koar-koar
tentang ideologi sebuah bangsa, harus mahfum akan wacana kebangsaannya yang superb dari bapak Radhar ini. Entah,
kebodohan saya yang mungkin baru menulis taklimat ini sehingga tidak begitu
lagi mengingat akan kejadian historis tersebut, kejadian akan pahamnya saya
tentang apa itu “Indonesia”.
Bagi Radhar Panca Dahana, sebenarnya tidak diperlukan lagi
ideologi atau standar-standar kebangsaan yang tertulis untuk Indonesia. Dengan
gayanya yang berapi-api, pria ini berujar, “petani di Indonesia itu sudah tahu
bagaimana dia akan hidup, begitu juga nelayan yang melaut untuk mencari ikan,
sampai pada ibu-ibu yang pergi ke pasar untuk meneruskan siklus penghidupannya.”
Begitu katanya, masyarakat Indonesia itu tidak dibangun atas
nilai-nilai sosio-historis suatu bangsa, tetapi masyarakat tersebut hidup
diantaranya, secara kesukuan pun, masyarakat Indonesia sudah paham akan cara
hidup secara beratus-ratus tahun kebelakang. Soekarno saja, dan mungkin
teman-teman, yang menurut saya terlalu jenius, untuk mencatat dan menjabarkan
nilai-nilai tersebut sehingga mencapai kata “ideologi”, yaitu pancasila.
Menurutnya, ideologi ibarat patok yang berdiri tegak, kaku
dan tidak terbantahkan, begitu ada patok yang lain, yang lebih kuat dan tegak, patok
yang lama akan tersingkir. Begitulah ideologi, akan tergantikan dengan ideologi
baru yang lain. Tetapi nilai kebangsaan itu tidak seperti ideologi, mereka
mengalir, dari waktu ke waktu, kondisi ke kondisi, begitu fleksibel, dan pandai
menyesuaikan. Itulah mengapa menurut saya, ternyata hanya mereka orang yang
benar-benar pintar atau kurang kerjaan saja, untuk bisa men-breakdown akan nilai sebuah bangsa, yang
mungkin secara insting sudah kita miliki, bahkan sebelum kita lahir.
Sekarang wacana postmo
mulai banyak digiatkan, tentang bagaimana kehidupan konsumsi menjadi rantai
yang mengikat, sehingga tidak semua orang-pun bisa lepas karenanya. Sekali lagi
Radhar Panca Dahana ini berujar, kegiatan masyarakat indonesia ini adalah untuk
bisa bekerja terus menerus. Menunaikan siklus yang mungkin tidak akan pernah
berhenti, selama kata “masyarakat” melekat pada dirinya, entah ex-presiden,
ex-napi, atau ex-ex yang lainnya. Tetapi, seiring dengan datangnya ideologi
pembebasan baru, demokrasi sumpalan masyarakat hedon. Masyarakat bekerja, hanya
untuk satu tujuan, mereka teradiksi akan suatu kebenaran palsu yang banyak
ditawarkan oleh pelaku-pelaku postmo,
begitulah konsumerisme muncul.
Setelah tujuannya tercapai? Mereka malas, pensiun dan
semacamnya menjadi atribut. Padahal kata Radhar, kodrat manusia pada umumnya,
dan masyarakat Indonesia pada khususnya adalah untuk terus bekerja, ada atau
dengan tidak ada tujuan. Mungkin Radhar ada benarnya juga, bekerja membuat kita
memahami siapa diri kita sebenarnya, setidaknya kita bekerja untuk menjadikan
diri kita lebih bersahaja, membumi, bukan menjadikan kerjaan tersebut sebagai
altar persembahan bagi para pelaku konsumerisme yang mendambakan keuntungan.
Semoga saya bukan menjadi bagian dari mereka yang menjadi
korban kegiatan konsumtif yang berlebihan, amin.
(MFA)
Comments
Post a Comment