Skip to main content

MOVIE REVIEW - Wolf Children Ame and Yuki (2012)

Rating: 8.5
The World is full of things i don’t know”, adalah kata-kata Hana (Miyazaki Aoi) saat melihat lelaki yang disayanginya bertransformasi menjadi manusia serigala. Dengan genre fantasi juga slice of life, Wolf Children Ame and Yuki berhasil menyajikan film animasi, dengan cerita penuh filosofinya yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh banyak orang.

Digarap secara apik oleh Mamoru Hosoda, sutradara yang juga melahirkan film animasi Summer Wars dan The Girls Who Leapt Through Time. Wolf Children Ame and Yuki adalah film sarat  fantasi, khas sutradara yang banyak dari karya-karyanya, berhasil menempatkan dirinya sejajar dengan sutradara kenamaan Studio Ghibli, Hayao Miyazaki.

Hana adalah seorang wanita muda, pekerja keras yang selalu tersenyum. Pertemuannya dengan Ookami (Osawa Takao) di lingkungan kampus, diawali dengan rasa penasaran Hana yang melihat lelaki tersebut, selalu mencatat pelajaran dengan serius dan antusias. Kisah cinta merekapun terbangun, walaupun secara cepat, Hana yang mengetahui identitas sebenarnya dari Ookami yang merupakan “manusia serigala”. Tetap berusaha merajut kehidupan seiring dengan kedua anak mereka yang telah lahir.

Judul film diatas memang sudah bisa menjelaskan, jika Wolf Children Ame and Yuki adalah cerita yang mengedepankan perjuangan Hana dalam membesarkan anak-anaknya. Yuki (Haru Kuroki), anak perempuan yang pertama kali lahir ini, memiliki perangai yang sangat riang. Yuki yang diartikan sebagai “salju” karena dia lahir saat salju turun, memang sangat mewakilkan makna-makna yang terkandung dalam salju itu sendiri. Dengan latar belakang sebagai keturunan manusia serigala, Yuki yang riang harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan manusia, saat dia harus memilih kehidupan mana yang akan dia tempuh nantinya.

Diceritakan, bagaimana Yuki yang saat itu duduk di kelas dua, harus bergaul dengan teman-teman sebayanya, disaat teman-teman lain mengumpulkan bunga untuk dijadikan mahkota di taman, dan memamerkan kalung-kalung lucu yang mereka dapat dari ibunya masing-masing. Yuki malah mendapatkan ular dan memamerkan koleksi tulang-tulang binatang kecil yang mungkin didapat dari masa-masa berburunya dulu, sehingga mendapat respon negatif dari teman-teman disekitar.


Sedangkan Ame (Nishii Yukito), anak lelaki yang lahir setelah Yuki, tumbuh sebagai anak yang pemalu dan lemah. Ame yang juga berarti “hujan”, memiliki perasaan “dingin” dan suram yang meliputinya. Ame yang tidak tertarik sekolah, pada saat itu, lebih memilih mendalami kehidupan alam liarnya. Berawal dari pertemuannya dengan serigala tua di balai konservasi, sampai pada bentuk pertemuan filosofis dengan sensei yang menjadi penjaga dari alam liar, tempat keluarganya tinggal.


Tidak ada yang salah atau benar mengenai jalan hidup yang diambil mereka berdua. Sudah sepatutnya, setiap keyakinan adalah syarat untuk bisa menjalani hidup dengan sepenuh dan semampunya. Ame, yang merasakan takdir telah datang kepadanya disaat ia tumbuh dewasa, harus merelakan hidup nyaman diantara kakak dan ibunya, untuk menjadi seekor serigala yang menggantikan sensei, seekor rubah yang mati akibat sebuah badai yang menimpa lingkungan mereka.

Wolf Children Ame and Yuki memang menawarkan preposisi unik, tentang bagaimana hidup manusia bisa begitu menjadi penting, bagi orang-orang disekitar, atau setidaknya, bagi alam disekitar. Sebuah kehidupan yang terlahir kembali. Bagi Hana, yang melihat sosok Ookami sebagai representasi dari keyakinannya untuk melepas dan mempercayakan kedua anaknya untuk baik-baik saja, menjadi roman indah dalam keputusannya akan sebuah final penghidupan. (MFA)



Comments

Popular posts from this blog