Sudah lama sekali, sejak sd saya bercita-cita untuk menjadi
seorang masinis, suer ini ngga
bohong. Kenapa? Tidak ada yang tahu, bahkan guru bahasa indonesia saya sedari
SD pun tidak, keahliannya selain mencekoki diriku dengan SPOK, hanyalah membuat
tanda tangan bergambar tikus sampai pada bentuk orang mengintip, yang pada saat
itu, memang booming di kalangan kami.
Mengapa harus masinis? Mungkin cita-cita ini tidak populer
di kalangan anak SD medio 2000-an, profesi masinis sekarang mungkin kalah pamor
dengan profesi floor director di TV
yang kerjaannya hanya goyang ugal-ugalan sembari narsis pada layar kaca. Secara
filosofis mungkin saya bisa jabarkan, bagaimana
profesi masinis menurut saya bisa merepresentasikan kehidupan statis yang
pasti, tentang bagaimana seorang masinis yang selalu stay on the track. Masinis dan keretanya dalam karya-karya populer
juga selalu digambarkan sebagai bentuk kehidupan yang bebas, perjalanan dunia
baru. Entahlah, aku di waktu kecil akan sangat menyeramkan untuk bisa berpikir
seperti itu, untuk pulang dan tidak ditinggal mobil jemputan, sudah sangat
menyenangkan, ah nostalgia..
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, umur saya kian
matang seiring dengan tumbuhnya bulu-bulu tipis di beberapa bagian. Seiring
dengan hal itu, saya semakin tahu, bahwa ternyata profesi masinis bukan suatu
profesi yang keren, setidaknya profesi yang bisa saya banggakan didepan
teman-teman sekelas, keluarga, sampai pada guru tercinta (maaf bapak masinis
yang terhormat). Semakin kesinipun, profesi masinis semakin terpinggirkan, lain
dari profesi pilot yang makin digandrungi tiap harinya.
Padahal, keduanya sama-sama mengendarai alat transportasi
masif, yang terkait dengan hajat orang banyak, hanya bedanya, pesawat bisa
terbang. Dalam film pun, kami sebagai anak-anak generasi 90-an pun hatam akan
betapa heroiknya para pilot pesawat terbang yang mengangkasa membelah awan
untuk membela kebenaran. Sayangnya, tidak ada film yang mengangkat kisah heroik
tentang seorang masinis, setidaknya, saya tidak mengetahuinya.
Begitulah, masa-masa post-SD (duileh) sampai saya masuk SMA, menjadi masa dimana diri saya
mengalami vacuum of hope, masa dimana
saya mengalami krisis kepercayaan diri, krisis impian. Sebelum ranah kehidupan
terdigitalisasi menjadi twitter, anak-anak medio 90-an sudah hidup dalam bentuk
kelompok yang mengutamakan banyakan pengikut atau banyaknya kita mengikuti
siapa. Sehingga muncul yang namanya generasi “musiman”, musim layangan, musim beyblade,
dan musim tamiya bersaing dengan
musim jambu hingga rambutan.
Selalu ada pelopor dalam setiap musimnya, dan tentunya, anak
yang mengikuti di belakang. Mulai dari eranya Kasogi sampai pada era Converse,
semua memiliki pelopornya masing-masing. Dalam musim layangan pun, seorang
pelopor adalah seorang anak yang harus memiliki insting tentang angin yang
sangat layangan-able, atau bahasa
gampangnya bisa diterbangi layangan. Bagi para pengikut, mereka adalah orang
yang sering melamun, menatap langit, menanti munculnya kotak kecil asimetris di
kejauhan yang terbang mengangkasa, tanpa berani untuk berusaha menerbangkannya
duluan.
BERSAMBUNG..
Ada beribu tafsir yang berbeda atas bunyi kokok ayam saja pun. Yang satu bilang kukuruyuk, yang satu bilang kongkorongkong. Padahal yang pasti benar adalah bunyi menurut ayam itu sendiri, yang sama sekali tak bisa kita bunyikan, karena yang kita bunyikan adalah bunyi tafsir kita sendiri. -Emha Ainun Nadjib
Comments
Post a Comment