Skip to main content

Kebetulan Stereotip dalam Kue Manis Bernama Wonder


Pertemuan saya dengan Wonder, film garapan Stephen Chbosky tidaklah disengaja. Ketika itu saya bersama pacar ingin menonton Star Wars: The Last Jedi, namun penuh; lalu saya ganti ingin menonton Coco, ternyata waktunya tidak tepat karena bertabrakan dengan waktu Maghrib; lalu ketika saya ingin menonton Ayat-Ayat Cinta 2, ternyata pacar saya bukan penggemar Fahri yang katanya mau bubarin KPK ntuh.

Jadi sebenarnya Wonder bukanlah film yang masuk kedalam list tontonan saya di penghujung 2017. Tetapi seperti kata pepatah yang saya bikin sendiri, “perjumpaan ada karena tidak terduga”, saya bersyukur berjumpa dengan Wonder, film ini bagus.

Bagus. Kalau saya menjawab pertanyaan esai dengan kata tersebut, Dosen Pembimbing pasti sudah menulis dengan huruf-huruf kapital diatas lembar jawaban saya, “BAGUS? BAGUS APA? BAGUS NTRL? BAGUS MULYADI? KAPUR BAGUS? COBA KAMU ELABORASIKAN KATA BAGUS ITU.”

Jadi begini, Wonder mengikuti cerita seorang Auggie Pullman, yang dideskripsikan oleh kakaknya, Via sebagai matahari, yang menjadi pusat mengorbitnya planet-planet bernama Ayah dan Ibu. Auggie adalah anak yang sangat diperhatikan.

Sedangkan Via membayangkan dirinya, tidak berada dalam orbit, mungkin seperti asteroid, terasing dan mengambang sendiri. Via cemburu, khas rivalitas kakak adik yang mengharapkan kasih sayang penuh kedua orangtuanya. Penonton sedari awal sudah disuguhi narasi untuk memaklumi hal tersebut, Auggie lebih diprioritaskan karena dia kebetulan anak bungsu, kebetulan memiliki penis, dan dia kebetulan punya kelainan wajah yang membuatnya berbeda dengan anak-anak sepantaran.

Memiliki penis dalam struktur keluarga-inti mungkin akan membuat kamu lebih diprioritaskan ketimbang yang tidak. Tapi saya tidak bicara hal itu, yang saya bicarakan adalah bagaimana film ini, mampu memandu penonton dengan baik, untuk merasakan pengalaman Auggie yang menyadari dirinya sebagai liyan, serta diliyankan oleh lingkungannya.

Permasalahan Auggie dimulai ketika keluarganya memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah setelah hampir beberapa lama homeschooling. Auggie yang kebetulan sudah minder dari awal, apalagi kebetulan dia pintar, tidak bisa lepas dari perundungan teman-teman sekelasnya.

Lalu banyak lagi kebetulan-kebetulan yang terjadi dalam film ini, kebetulan jika yang merundungnya kebanyakan adalah anak-anak dari keluarga kaya, dan yang membantunya kebetulan adalah anak-anak dari kelompok subordinat; berkulit hitam dan anak yang harus bergantung kepada beasiswa untuk tetap bersekolah.

Entah kebetulan tersebut memang mewakili situasi terkini, atau kebetulan tersebut menjadi fantasi yang menyenangkan bagi banyak orang, saya kurang tahu. Namun sayang, kebetulan-kebetulan itu tidak dibarengi dengan sikap Auggie yang melihat jika kelainan wajahnya, adalah kebetulan yang dianugerahkan kepadanya.

Auggie yang sifatnya masih kekanak-kanakan memang wajar. Tetapi film ini juga memberi alternatif, kebetulan ada juga anak-anak yang telah berpikiran dewasa, meski mungkin saja konotasi menjadi dewasa ini cenderung negatif, seperti sifat muka dua yang malaikat di depan namun syaiton di belakang, juga dilakukan anak-anak tersebut.

Mungkin saja, jika Auggie telah berpikiran dewasa dan bersikap asertif, dia akan mendatangi teman-teman sekelasnya, melabrak meja dan berkata, “woi! Elu kan yang ngomongin muka gua mirip Darth Sidious di perosotan? Ngaku Lu!”. Tapi Auggie tidak seperti itu, dia memilih mengenakan helm astronot; lantaran karena dia memang bercita-cita menjadi astronot juga ingin menutupi wajahnya, dan menjadikan hari Halloween sebagai hari favoritnya, karena di hari tersebut, dia bisa menjadi apa saja, selain dirinya sendiri.

Kebetulan-kebetulan ngehek diatas, sukses membuat penonton merasakan kedekatan dengan tokoh Auggie, bahkan saya berkali-kali harus menyeka air mata yang berlinang di pipi pacar saya. Andai kata dibandingkan dengan Grave of The Fireflies yang seperti gunung, menanjak perlahan sampai akhirnya harus terjun bebas dengan kepala terlebih dahulu menghantam batu karang, Wonder adalah jalanan lurus panjang dengan banyak lubang-lubang yang memberikan guncangan.

Tentu di setiap jalanan ada persimpangan. Wonder menghadirkan cerita pendukung berbabak dari berbagai macam sudut pandang; Via, temannya Via, dan temannya Auggie. Sampai tahap ini, meski sang sutradara agak bersusah payah untuk menceritakan banyak hal, namun cerita berbeda tersebut menurut saya berhasil diuntai dengan baik, menghadirkan satu benang merah penting – bahwa semua orang memiliki masalahnya masing-masing dan kita tidak bisa kabur dari hal tersebut.

Selayaknya coming-of-age, Wonder bicara tentang perkembangan diri, sebuah proses adaptasi dimana seorang anak coba menempatkan dirinya di sebuah lingkungan baru, yang tentu saja sulit dan penuh ketidakpastian.

Dari judulnya pun, “Wonder” dalam bahasa Inggris bermakna ganda, bisa “bertanya-tanya” atau “keajaiban”. Pesannya jelas, Auggie yang berjuang soal ketidakpastian hidupnya, tidak akan berhasil tanpa dukungan orang tua dan lingkungannya, yang terus menerus mengatakan kepada Auggie jika dirinya adalah “keajaiban bagi keluarga dan lingkungan di sekitar”.


Kalau Ayat-Ayat Cinta 2 saya ibaratkan seperti opor ayam yang gurih namun tidak boleh berlebihan untuk kita konsumsi, Wonder adalah kado akhir tahun berupa kue coklat yang manis untuk semua keluarga. Tapi ingat, untuk para keluarga yang membawa anaknya, film ini mengandung sedikitnya dua adegan ciuman, kalian bisa memilih menutup mata anak anda atau tidak, terserah. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog