Aku ini anaknya ngga macem-macem, apa yang menjadi tuntutan
dan tuntunan pemerintah sekarang, aku pasti ikuti, ya kira-kira seperti bebek
lah jika meminjam istilahnya Farid Gaban. Tapi ketika ada pernyataan dari
Menteri Dalam Negeri, Pak Tjahjo Kumolo soal diperbolehkannya pemutaran
“Pengkhianatan G30S PKI” di TV nasional agar anak-anak muda tahu jika pernah
ada kudeta terjadi di Indonesia, aku ngga setuju pak!
Bukannya aku tidak mau anak-anak muda belajar sejarah,
apalagi ditengah suasana yang kian genting, wacana anti-komenis harus selalu
dilanggengkan, pemerintah kan gerah dibilang selalu dukung-dukung komenis. Dan
tidak bisa yang lain, film garapan Arifin C. Noer inilah satu-satunya alat yang
bisa melanggengkan wacana tersebut.
Alat ini memang
sukses, di zamannya. Sejak 1998 dari pemutarannya yang terakhir sampai
sekarang, bayangan soal kekejaman PKI masih terngiang jelas kok di pikiran.
Soal bagaimana busuknya Aidit dan para kamerad merencanakan pemberontakan
sambil tidak henti-hentinya menghisap rokok, lalu tarian biadab para Gerwani di
depan jenderal-jenderal yang disandera, hingga pembasuhan wajah Catherine
Panjaitan dengan darah dari mendiang
bapaknya yang ditembaki merupakan bagian tidak terpisahkan dari trauma masa
kecil.
Dari trauma itu aku belajar, jika tanpa ABRI, Indonesia
sudah pasti jatuh ke tangan komenis, bukan tidak mungkin nanti Indonesia akan
diasingkan dan jatuh miskin seperti Korea Utara, dan untuk membalas kebaikan
mereka, aku mengurangi main-main yang tidak penting, ngobrol-ngobrol yang tidak
penting, aku belajar sekuat tenaga agar bisa meneruskan pembangunan.
Trauma membuatku disiplin, sesuatu hal yang tidak ada dalam
diri anak muda zaman now. Kebanyakan
bermain gawai dan internet membuat bahu-bahu mereka melemas, duduk tidak lagi
tegap, nilai-nilai luhur militeristik telah ditinggalkan. Jadinya apa yang
pemerintah berikan hanyalah guyon bagi mereka, hoaks bermunculan, meme yang
merendahkan kepala negara beredar luas, Bapak Presiden pun yang harusnya serius
dan berwibawa, harus rela melawak dan belajar sulap untuk menarik simpati anak
muda yang gandrung dengan jokes
receh, ini ngga bisa dibiarkan pak!
Makanya aku takut, alih-alih film tersebut membuat anak muda
belajar dan disiplin, “Pengkhianatan G30S PKI” malah mereka potong-potong, mereka
tambahkan lagu dan potongan video lain hingga memunculkan makna baru, lalu
mereka unggah dalam bentuk meme video atau gambar di media sosial sebagai
guyonan. Aku takut kemurnian dari film ini akan ternoda oleh ide-ide jahil
mereka, pak.
Biarkan film tersebut tetap suci seperti apa adanya, sebagai
alat yang sukses membuat masyarakat terjaga akan bahaya laten dan hantu
komenis, bahkan sampai sekarang. Sayangnya kini alat tersebut sudah tidak
relevan untuk dipakai menakut-nakuti mendisiplinkan anak muda yang kini
hidup menyandang predikat warganet.
Alasannya karena medium TV sudah tidak relevan lagi untuk
anak muda. Siapa sih pak anak muda kekinian yang masih nonton TV nasional? Semua
hiburan dan informasi edukasyenel mereka sudah tersedia dalam gawai, TV palingan
disetel saat daya gawai sedang diisi ulang, atau ketika mata mereka lelah
menatap komputer selama berjam-jam, gonta-ganti saluran sebentar, lalu
dimatikan lagi. Kalaupun nonton, paling TV kabel, itupun hanya ketika serial
Game Of Thrones mulai, sebenarnya bisa streaming
pak, tapi mereka bela-belain nonton di TV untuk menghormati para pembuatnya,
mulia sekali ya.
Selain itu kualitasnya sebagai film tahun 1984 juga ditengarai tidak mampu
memuaskan dahaga estetika anak-anak muda masa kini. Lagipula, selain lompatan
teknologi dan selera yang terus berubah, hal apalagi yang membuat industri film
rela repot-repot membuat ulang film-film klasik, padahal jalan ceritanya sudah
kita ketahui? Tentu saja karena ide orisinal adalah barang langka dan mahal
dalam kehidupan modern seperti sekarang ini.
Saranku tentu saja membuat ulang film tersebut sesuai dengan
konteks kekinian yang disukai anak muda. Kawan Aidit tidak perlu lagi merokok
ketika rapat bersama kameradnya, lebih keren dan jumawa lah dia ketika
menghisap vapor dan menghembuskan asap tebal beraroma sayur genjer yang membuat
mata peserta rapat lainnya terasa pedih. Untuk menggarapnya, pemerintah bisa
menggandeng Anggy Umbara, sutradara yang sukses membuat ulang film Warkop DKI.
Mungkin saja ide-ide segar Anggy bisa membuat film “Pengkhianatan G30S PKI:
Reborn” memberikan perspektif baru yang lebih segar.
Selain memaksimalkan film, aku juga terinspirasi ide brilian
Bapak Presiden Jokowi dalam mendirikan SMK jurusan pembuatan meme. Hei! Bagaimana kalau anak-anak SMK
tersebut nantinya ditugaskan untuk membuat meme anti-komenis yang ramah untuk
anak muda dan anak kecil, tentu saja tanpa darah dan adegan tembak-tembakan.
Anak muda pasti suka dan dengan senang hati akan membagikan
meme-meme tersebut kedalam grup WA dan Line, serta profil Facebook mereka.
Tidak perlu sulit-sulit, template meme kan sudah banyak tersedia, anak-anak SMK
hanya tinggal mengganti kata-katanya saja.
Misalnya menggunakan meme Success Kid bertuliskan “NGETWIT
KALIMAT ‘GANYANG KOMUNIS’ – LANGSUNG DIRETWEET TNI AD”, atau meme Disaster Girl
bertuliskan “MEREKA BERHARAP SAYA MINTA MAAF – SAYA GEBUK”, atau meme lokal Mad
Dog bertuliskan “MENDIRIKAN SIMPOSIUM TANDINGAN DI DEPAN KORBAN 65 – BIAR
GREGET” bisa menjadi contoh meme yang akan diproduksi nantinya.
Namun jika keinginan pemerintah untuk memberi anak muda
pelajaran sejarah menggunakan film tersebut tidak tertahankan, aku punya ide
lain. Daripada memakai medium TV nasional, mengapa tidak menyewa
channel-channel youtuber Indonesia yang pernah diundang Bapak Presiden ke
Istana Negara? Minta mereka untuk mengunggah film berdurasi tiga jam tersebut, mosok mereka ngga mau, kan udah pernah
diajak makan dan naik pesawat kepresidenan, hehe.
Comments
Post a Comment