Skip to main content

Kita dan Hyper-Universe

Sebelum tagar #JKW4P menjadi tren, agaknya saya kurang tertarik untuk bersama-sama menselebrasikan 2014 sebagai tahun politik. Hal tesebut juga mengindikasi, jika saya bukan merupakan simpatisan, hanya orang yang tertarik dengan Jokowi Effect – sebuah fenomena keterkaitan yang chaos­ – yang sama dengan the butterfly effect.

Jokowi Effect itu simpel; jika kemarin indeks rupiah menguat gara-gara Jokowi nyapres, maka jika besok Jakarta hujan, itu juga dikarenakan Jokowi nyapres, begitu juga dengan jalanan Kebon Jeruk yang senin akan tersendat, itu juga disebabkan oleh Jokowi.

Teorinya memang sama, the butterfly effect juga dianalogikan seperti itu, itu efek yang memperlihatkan hubungan dikepaknya sayap kupu-kupu di Amazon, Brazil, dengan munculnya tornado di California, memang berhubungan dan terkait, secara chaos.

Mungkin tulisan saya diatas agak terlihat aneh, “siapa yang peduli hubungan kupu-kupu dengan terjadinya tornado?” Tetapi jika analogi tersebut kita jabarkan, melalui landasan jika semua aspek alam semesta merupakan organisme dalam organisme, agaknya teori ini bisa menjadi relevan, agaknya.

Faktanya, saya tidak terlalu suka dengan Jokowi, perihal pencalonan prematur yang tidak mengindahkan janji-janji kegubernurannya. Tetapi yang buat saya tertarik adalah, Jokowi Effect merupakan fenomena transendental tentang dunia sebagai organisme yang memang berjalan dengan semestinya, tanpa diganggu gugat.

Alam semesta berjalan dengan semestinya, setidaknya itu kata-kata Stephen Hawking, dengan jumawa dia berkata,

“bahkan Tuhan tidak diperlukan untuk mengatur jalannya alam semesta, Tuhan memang ada, tetapi dunia sudah berjalan dengan semestinya, tanpa perlu campur tangan-Nya.”

Mulai dari peran proton dan neutron dalam satuan terkecil, yaitu atom, beralih ke sel biologis yang terdiri dari mitokondria dan ribosom, lalu ke organisme yang lebih besar lagi; jantung yang memompa darah, paru-paru yang menghisap O2 dan menghembuskan CO2; hingga bulan yang mengitari bumi, bumi yang mengitari matahari, matahari yang membentuk galaksi, sampai galaksi yang membentuk alam semesta, adalah satu kesatuan.

Semuanya, memiliki peran masing-masing, berkaitan, walau tidak bersinggungan. Kita memang organisme besar yang bergerak ajeg tanpa diperintah, dan jika Hawking berkata seperti itu, ada benarnya juga, jika alam semesta ini merupakan organisme yang saling terkait satu dan lainnya, tetapi jadi salah kaprah jika Tuhan tidak ikut campur dalam “peredaran” ini.

“Tuhan inti dari segalanya”, ya.. Jika melihat semua organisme tersebut, mereka memiliki “inti” yang sering disebut dengan nukleus. Mulai atom, sel, manusia, bumi, matahari, tata surya, hingga galaksi, memiliki “nukleus”-nya masing-masing. Dalam jurnal astrophysics pun, universe hanya menjadi sel bagi hyper-universe. Lalu bagaimana dengan kumpulan hyper-universe, apakah akan menjadi ultra-hyper-universe? Lalu bagaimana dengan kumpulan selanjutnya? Selanjutnya? Dan selanjutnya? Apakah atau Siapakah yang menjadi “nukleus” mereka?

Lalu yang paling mencengangkan, apa nilai kita, sebagai manusia di hadapan hyper-universe yang menganggap universe hanya sekedar sel? Lebih rendah dari atom? Atau satuan manusia menjadi tidak bernilai lagi karena muatannya yang terlalu kecil?


Hal itu menjadi tanda jika; bagaimana kita bisa sombong dan arogan sebagai makhluk paling sempurna, ketika nilai kita lebih kecil dari atom di hadapan hyper-universe, serta kumpulan “tak-terhingga” yang intinya adalah Tuhan? Pantaskah kita untuk sombong di hadapan-Nya? (MFA)

Comments

Popular posts from this blog