Tiga tahun yang lalu, muncul euforia atas terjualnya
1,334,000 CD singel Everyday Kachuusha.
Singel ke-21 ini menjadi tiket, bagi fans untuk bisa memilih member senbatsu untuk singel selanjutnya. Lalu
euforia, beralih menjadi fanatisme, saat tiket terjual habis, kursi-kursi penuh
menjadi saksi atas pembacaan hasil dari senbatsu
sousenkyo di Budokan.
AKB48 sangat dikenal, disebut
sebagai “idola nasional” (kokumin-teki
aidoru), AKB48 adalah idola yang diketahui dan dicintai oleh “Jepang”. Semua
itu berkat media, senbatsu sousenkyo
saat itu adalah buzzer, menjadi bahan
pembicaraan, di situs online, iklan, merambah jalanan Tokyo. Patrick W.
Galbraith dan Jason Karlin dalam “Idols and Celebrity in Japanese Media Culture”,
dengan jelas menulis,
“It was hard not to be involved in some way, if not intimately so.”
Jakarta sendiri, akan menjadikan 2014 sebagai “pesta
demokrasi”-nya , bukan pesta dalam memilih anggota legislatif juga presiden, di
2014, Jakarta melalui JKT48 terus mencoba untuk mengikuti kakaknya, melenggang
sebagai “idola nasional” dalam senbatsu
sousenkyo.
Senbatsu sousenkyo adalah
event pemilu dalam menentukan member
yang “terpilih” (selection = senbatsu), untuk singel selanjutnya.
Lima singel sebelumnya, JKT48 menetapkan sendiri siapa saja member yang menjadi
senbatsu, baru singel keenam lah,
JKT48 menyerahkan tugas pemilihan tersebut pada fans, “let the nation chose” memang menjadi tajuk yang tepat.
Fenomena, jika memang nantinya semua suara fans bisa
terwakili oleh top-16 yang akan terpilih nanti. Kendati JKT48 adalah “baby boom” dalam hal media coverage, senbatsu sousenkyo bisa saja menjadi banal, jika tidak ada
pengetahuan lebih, dalam menghadapinya, fans maupun manajemen.
Buzzer minus media.
Berbicara tentang buzzer,
tidak bisa dilepaskan dari peran menonjol media. Buzzer dalam singel ke-21 AKB48, memang melibatkan banyak media,
sehingga menjadi “tontonan publik yang mencolok”. Bayangkan, perhelatannya
diadakan di Budokan, tempat dimana pemusik-pemusik internasional bermain,
mereka juga menyiarkan perhelatannya di banyak tempat, 97 layar di Jepang,
sampai ke Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. (Barks Global Media 2011)
JKT48 kadung menghelat penentuan akbar ini, mereka telah
memastikan jika deadline pengumpulan vote adalah 22 April 2014. Waktu
pengumpulan ini terbilang lama, dengan tujuan mendulang untung penjualan CD.
Sesuai dengan lansiran JKT48.com, para fans bisa mendapatkan suara melalui
banyak jalur, satu suara melalui OFC, lalu mobile
content downloading, atau membeli CD singel kelima, yaitu “Flying Get”.
Sayang, “baby boom”
Jakarta ini tidak memaksimalkan peluangnya untuk menggaungkan event tersebut untuk menjaring voters baru maupun fans baru. Mereka
hanya bergerilya, setidaknya lewat youtube.com, homepage, serta fans link-to-link.
Era internet menjadikan JKT48 sebagai segmented
goods, tetapi sangat umum.
Maksudnya, mereka hanya menjaring fans yang benar-benar segmented atau “mengikuti” saja, padahal
media konvensional macam televisi, radio, dan poster berhasil menarik
masyarakat umum untuk mulai tertarik, ya..
Mereka hanya tertarik.
Jika hitung-hitungan memperlihatkan bahwa JKT48 adalah
primadona dunia digital – mereka merambah melalui internet dengan mempertimbangkan
fans yang mayoritas merupakan internet
user – mereka sebenarnya juga memiliki kans dalam screentime, sebagai subject
attraction yang memiliki jam terbang tinggi dalam media konvensional, JKT48
sekarang memang sering muncul di layar kaca.
SCTV kemarin, kembali menyiarkan kumpulan pertunjukan JKT48
yang disiarkan pada primetime,
walaupun isinya hanya mengulang pertunjukan sebelumnya, saya rasa acara “terpaksa”
itu memiliki guna menaikan rating. Ada banyak “fans luar kaca” di dataran
Indonesia, mereka hanya mengenal Nabilah, atau Melody sebagai ikon, tanpa
melihat grup JKT48 yang menaunginya.
Padahal, jika manajemen mau kembali ke grassroots untuk ikut mencaplok kue ”popularitas” dalam media
konvensional, saya rasa keuntungan bisa lebih dilipatgandakan, first impression untuk keuntungan jangka
panjang bisa dimiliki, walaupun kocek
awalnya memang terasa dalam.
Melihat penghitungan periode pertama yang keseluruhan member
hanya mencapai 400-an suara, strategi diatas mungkin bisa melipatgandakan
perolehan, dengan hasil akhir setiap member rata-rata mendapatkan 1,000 vote, tetapi analisis penulis bisa
keliru jika suara di akhir nanti sudah mencapai 1,000 tanpa harus drag down to grassroots.
Elegi para voters.
Menjadi voters adalah
pilihan, untuk anda memilih atau tidak. Hal tersebut merupakan korelasi antara
partisipasi anda dengan dampak yang diberikan setelahnya, maka pertanyaan akan
bermuara pada, “keuntungan apa yang bisa saya dapatkan karena memilih?”.
Disinilah kata-kata “idol”
bermain peran, dalam lanjutan buku “Idols and Celebrity in Japanese Media
Culture”, terminologi idol bagi fans
adalah resonansi bagi perasaan dan hasrat emosional yang mendalam.
“Idol adalah objek
pelampiasan hasrat, konstruksi ideal untuk merefleksikan diri sendiri terhadap
ikatan emosional.” Jika logika absurd adalah kata-kata yang cocok untuk
menggambarkan, tidak apa. Masalahnya, memang tidak ada alasan yang baik untuk
menjawab pertanyaan di awal paragraf.
Keuntungan yang paling mungkin bisa anda dapatkan, media senbatsu memiliki screentime yang tinggi, artinya member
yang masuk top-16 akan sering disorot ketimbang mereka yang tidak. Di Jepang
sana, screentime itu termasuk iklan,
penampilan di tv, drama, dan lain-lain. Entah Indonesia, karena ini merupakan
voting senbatsu pertama, dan saya akan
sangat menunggunya, perbedaan dipilihnya senbatsu
melalui manajemen atau melalui fans, akankah berbeda? Atau sama saja?
Jika diatas bagi anda adalah sebuah keuntungan dalam
berpartisipasi, maka anda sangat manusiawi, anda masuk dalam sebuah sistem yang
menumpulkan logika, jika berbicara hobi, kadang memang tak selalu beriringan
dengan akal sehat bukan?
Anda yang memiliki hasrat bisa berpartisipasi, tetapi harus
diingat, sistem ini bukan merupakan single
person – single vote, sistem ini menerapkan persaingan antar fans atau wota
yang berusaha membahagiakan oshi-nya. Anda bisa membeli sebanyak-banyaknya CD,
sekuat anda, tergantung seberapa besar hasrat yang ada.
Anda mungkin mendapatkan kepuasan semu, saat melihat oshi anda melenggang menjadi yang pertama.
Tidak ada yang salah akan hasrat anda,
kecuali anda memaksakan diri. Memaksakan diri tidak akan menguntungkan, takut
anda akan ber-elegi, meratapi kebodohan anda, saat idola yang anda dukung tidak
pernah mengetahui anda.
Poster girls dan mereka yang bertahan.
Atsuko Maeda adalah ace,
setidaknya kurun 2011-2012, wanita muda ini selalu jadi yang pertama, sebelum
Oshima Yuko dan Sashihara Rino berusaha mengikuti. Dalam jurnal yang ditulis
Liza Zabar, “Dramatism in the context of AKB48’s ace, Atsuko Maeda’s Speech”.
Dia menyebut Atsuko Maeda sebagai “poster
girl”.
“Poster girl”
adalah sebutan untuk member yang menjadi pusat perhatian, muncul dimana-mana,
sebagai member yang dipaksa manajemen untuk menjadi ikon. Keterpaksaan menjadi
ikon, mungkin hanya muncul dalam fandom AKB48, karena menurut “Kin-Sma Special:
Documentary of AKB48”, Acchan, panggilan akrab Atsuko Maeda, menolak dirinya
untuk dijadikan center oleh
manajemen.
Memang tidak adil baginya, untuk mengepalai belasan
perempuan muda tersebut, saat yang lainnya, juga berkesempatan. Tetapi waktu berlalu,
akhirnya Acchan menjadi ikon, salah satu idola Jepang yang mendunia, apresiasi
begitu tinggi, hingga sebutan “the face
of AKB48” melekat pada dirinya.
Kembali ke Jakarta, JKT48 juga memiliki poster girl-nya masing-masing, siapa yang ada di pikiran anda? Saya
tidak terlalu peduli akan bintang yang disematkan oleh Aki-P pada mereka,
tetapi saya rasa Melody Nurramdhani adalah orangnya.
Hampir semua screentime
di tv, plot member pada teater,
menjadikan mojang Bandung ini selalu
terdepan. Mungkin belakangan ini agak terpinggirkan, setelah overseas member yang datang dari Jepang,
Nakagawa Haruka, mencuri perhatian fans ibukota dengan gayanya.
Tetapi satu yang pasti, manajemen sedari awal menginginkan
Melody menjadi yang terdepan, bahkan sampai periode penghitungan pertama
bergulir, mereka berhasil. Melody menduduki posisi pertama dengan jumlah vote 475 suara, terpaut 15 suara dari
Haruka.
Aneh memang, tujuan manajemen untuk membangun popularitas
seorang Melody sebagai ikon, disaat mereka menyerahkan pemilihan senbatsu pada fans. Tetapi jika kembali
kita runut, industri ini bicara tentang keuntungan, hanya keuntungan.
Melanjutkan Galbraith dan Karlin, idol menurut mereka dibuat dan diatur untuk memaksimalkan konsumsi.
Mereka adalah nilai tukar yang mewakili promosi dari segala servis dan produk.
Intinya idol memang akan selalu
bersandingan dengan kegiatan konsumsi. (hal. 2)
Senbatsu sousenkyo
ini merupakan strategi, agar kalian yang bingung untuk menghambur-hamburkan
uang bisa tercerahkan, toh semua sistem ini sudah mereka atur. Mereka adalah jimusho, sebutan untuk perusahaan performer yang berada di Jepang.
Jimusho mengatur
secara detil produksi idol, mulai dari titik nol, strategi
pasar jangka panjang, dan permintaan kontrol media secara penuh, jimusho memiliki itu. Kemampuannya
menjadikan jimusho dilabeli sebagai “mass control”, karena campur tangannya
yang penuh terhadap popularitas idol.
Jika Melody sudah dipersiapkan, bagaimana dengan mereka yang
tidak terpilih dari awal? Apakah mereka hanya dijadikan martir? Saya rasa itu
terlalu berlebihan. Mereka adalah member yang bertahan, saya rasa kemampuannya
bertahan dari tekanan mental – bersaing dengan “si pemenang” – patut diacungi
jempol.
Ada member yang keluar, ada member yang masuk, semuanya
dihadapkan dengan pilihan, bertahan atau tidak. Mereka bertahan karena
menantikan glitch dari suatu sistem. Ya.. saya menyebutnya glitch karena selalu ada error dalam suatu sistem, setidaknya “kesempurnaan
adalah glitch itu sendiri.”
Sashihara Rino bisa menjadi contoh, hetare girl ini menumbangkan kejayaan Oshima Yuko selepas Acchan
lulus, dan fakta jika singgasana senbatsu
diduduki oleh perempuan yang demoted
ke HKT48, adalah kejutan tersendiri, bagi para fans.
Sashihara tidak pernah diinginkan, lalu-lalang di undergirls, terlibat skandal, bahkan
dijuluki hetare, yang berarti “tidak
ada harapan”. Tapi Sashi mementahkan semua fakta tersebut, dengan terpilihnya
dia, menjadikan hal tersebut sebagai glitch,
yaitu rusaknya sistem sepeninggal Acchan.
Jika Sashi bisa, kenapa semua member yang bertahan tidak
bisa? Rivalitas memang belum digaungkan, belum ada cerita tentang “mereka yang
bertahan” akan menggulingkan “si pemenang”. Member yang lulus sebelum pemilihan,
akan menimbulkan efek peralihan suara bagi member yang lain, sehingga akan ada
member yang naik, akan ada member yang turun.
Saya bisa berspekulasi, Nabilah pun, yang memiliki followers twitter terbanyak, nyatanya
hanya menduduki peringkat enam dengan 371 suara, fakta yang bisa diambil, ikon
tidak selalu bersenang-senang. Selalu ada loyalis dan simpatisan, Nabilah yang
didukung jutaan simpatisan, akan ciut
juga kalo lawannya hanya ribuan loyalis Beby. Beby mendulang 415 suara di
posisi empat, membuktikan member yang mencoba bertahan pun bisa bersinar.
Comments
Post a Comment