Aku akan bilang suka kepada sahabatku sore nanti. Sepulang sekolah, ketika sepeda yang kami naiki melintasi kebun buah naga. Aku akan berteriak sekeras-sekerasnya, atau hanya berbisik saja. Soal itu aku belum yakin.
Namanya
Gita. Rambutnya pendek, sering kali telinganya terlihat jika rambutnya dihempas
angin. Suaranya seperti tanggung jawab, berat. Aku tidak tahu apa yang membuat
aku tertarik dengan Gita, selain karena kami memang sudah saling mengenal,
bahkan sedari kecil.
Ingatan
pertamaku tentang dirinya adalah bola plastik. Semasa kecil dulu, aku dan
anak-anak laki lainnya rutin bermain bola setiap sore. Kami bermain di tanah
kosong dekat perumahan dinas yang hampir semua rumahnya serupa. Rumahku dan
teman-teman juga di sana. Catnya putih, resik, jendelanya simetris pada setiap
sisi, halamannya luas. Seperti rumah-rumah yang sering aku lihat di dalam
cerita bergambar ketika itu.
Suatu
hari ketika libur Lebaran, ketika lapangan tidak seramai biasanya karena
beberapa teman-teman pulang ke daerahnya masing-masing, kami memutuskan tetap
bermain. Jika biasanya kami yang lelah bermain akan digantikan dengan tim lain,
kali ini tidak. Lapangan kami biarkan kosong ketika kami beristirahat, sekadar
duduk-duduk, mengobrol sembari mencolek-colek Putri Malu.
Tiba-tiba
datang seorang anak, rambutnya terlalu pendek untuk ukuran perempuan, terlalu
panjang untuk ukuran laki-laki seusia kami.
“Kok
selesai main bolanya? Main lagi dong!” Ujarnya macam mandor yang melihat
bawahannya duduk-duduk sebelum masuk waktu istirahat.
Aku
dan teman-teman lain langsung baku lihat. Tidak ada yang mengenal siapa orang
ini dan mengapa gaya asingnya membuat aku kesal, mungkin juga teman-teman.
“Kami sudah lelah,” aku balas
ketus. “Kalau kamu mau bermain, silahkan bermain sendiri.”
“Ah, lemah.”
Tiba-tiba
salah satu dari kami langsung menerjang orang tersebut, kaki-kakinya yang kecil
menjejak tanah merah dan melompat menimpa, lalu menggulingkan mereka berdua.
Aku dan teman-teman merespon dengan membantu memukuli orang asing tersebut,
beberapa ada yang hanya menyemangati.
Kaki
mendarat persis di samping rahang. Ayunannya keras dan presisi, membuatku
terpelanting beberapa meter ke belakang, mencium tanah dan debu berputar
mengelilingi. Nyeri menjalar dari rahang seperti darah mengalir dari mulut. Badanku
lemas, aku mengecap besi di dalam mulutku, lalu aku menangis karena ini pertama
kalinya aku merasakan darah.
Orang
asing tersebut menghantam kami semua.
Baru
aku tahu setelahnya, lima teman yang lain luka-luka, beberapa menangis, yang
lain kabur meninggalkan kami yang tergeletak. Orang asing tersebut sudah lama
lenyap seakan takut dengan kekuatan yang ia miliki.
Aku
tertidur sebentar ketika matahari bergulir ingin tenggelam. Aku bangun dan
merasakan rahangku seperti tidak ada di tempat. Lapangan tersebut telah sepi,
aku pun memutuskan untuk pulang.
Pintu
rumah tidak biasanya terbuka, membiarkan angin dingin dari hutan pinus seberang
menyelinap masuk. Di dalam aku bertemu lagi dengan orang asing tersebut yang
ternyata bernama Gita, ternyata seorang perempuan, ternyata memegang sabuk
hitam dan medali perak olimpiade nasional tingkat SD untuk cabang karate.
Seketika rahangku kembali dan menyapa tubuhku dalam bentuk rasa sakit.
Gita
adalah anak dari sahabat ayah sewaktu berkuliah di Bandung. Ayah merekomendasikan
pekerjaan untuk ayah Gita dan kini kami hidup bertetangga. Awalnya aku tidak
menyukai kehadiran Gita, pertama karena dia ternyata perempuan. Maksudku,
sebelum Gita hadir tidak pernah ada perempuan yang mencoba bermain di lapangan,
terlebih menghantam rahang para laki-laki di sana. Perempuan biasanya main di
rumah, membayangkan hidup mereka nanti dengan secangkir teh atau boneka yang
datang dari mana-mana.
Namun
siapa yang tahu jika Gita ternyata cukup piawai dalam bermain bola (selain
menghantam rahang para laki-laki tentu saja). Dari pinggir lapangan rahangku
berdenyut-denyut ketika memperhatikannya menggiring bola. Ada rasa kagum,
tetapi juga rasa takut jika mungkin saja aku tidak bisa lebih baik darinya.
Teman-teman
juga awalnya menolak kehadiran Gita di lapangan. Namun ketika Gita menggiring
bola dengan brilian, mempecundangi setengah anggota tim dari desa sebelah
barat, yang bodoh betul percaya jika Gita adalah laki-laki, kami sepakat Gita
adalah ujung tombak kami. Gita di sini tidak pernah dianggap perempuan, dia
hanya laki-laki yang tampilannya ‘tidak biasa’.
Kini
aku menunggunya di parkiran sepeda belakang SMA. Aku sudah sering memboncengnya
dengan sepeda. Ketika SMP, ketika Gita sudah tidak pernah terlihat lagi di
lapangan, dia datang ke rumah dan meminta dibonceng. Dia tentu bisa beli
sepeda, tapi ada satu dan lain hal yang membuat dia tidak bisa mengendarainya.
Aku tidak tahu kenapa. Sejak itu sampai sekarang, dia selalu membonceng, duduk
di kursi belakang sepeda ibu yang kini sudah menjadi milikku.
Jantung
berdegup kencang di atas sepeda. Maksudku, seberapa besar kemungkinan hari ini
bisa berakhir buruk, hanya karena kata suka, bahkan setelah aku melewati hari
yang sama beratus, mungkin beribu kalinya. Sembari menunggu Gita turun dari
rapat OSIS, aku membayangkan banyak kemungkinan-kemungkinan jika kami ternyata
hanya sebatas teman.
Di
SMA yang kulit temboknya mulai terkelupas, jatuh di antara daun-daun ketapang
yang enggan dibersihkan petugas berupah makan siang, aku mencoba mencari keberanian.
Keberanian di antara tembok-tembok yang retak, tiang-tiang kayu yang keropos,
lumut-lumut yang hinggap di sisi-sisi basah gedung.
Bono
datang ke parkiran sepeda sebelum Gita. Bono juga anggota OSIS dan lulusan
lapangan yang kini sudah menjadi perumahan dinas untuk kantor lain. Bono
juga salah satu yang rahangnya dihempaskan Gita ketika itu. Tapi itu sudah lama
sekali. Aku tidak tahu apakah Bono masih menyimpan ingatan tersebut.
“Kamu masih menunggu Gita?”
Aku
hanya mengangguk. Tidak bilang iya, tidak bilang tidak. Banyak yang mengira
jika aku dan Gita sudah berpacaran. Aku merasa terganggu, pertama karena itu yang
aku inginkan, namun belum terjadi hingga saat ini. Namun entah kenapa, Gita
terkesan tidak ambil pusing dan menjalani hari-harinya dengan biasa.
Dari
balik kantin yang menuju lorong ruang-ruang administrasi, Gita datang.
Rambutnya masih pendek, kini sedikit kecoklatan, mungkin ia mewarnainya seperti
suku Samoa menato tubuh mereka. Matanya lelah meski mampu menenggelamkan
pikiran-pikiran bodoh untuk mengurungkan kata suka. Mungkin rapatnya tidak
berjalan sempurna, mungkin dia bosan dan ingin cepat pulang.
Seragamnya
putih abu-abu, kaus kakinya putih panjang, sepatunya hitam. Dia sama seperti
jutaan siswi SMA di seluruh Indonesia, tapi aku suka bagaimana kemeja putihnya
kusut dan pinggirannya beberapa terurai kabur dari tutupan rok abu-abunya. Aku
suka bagaimana dia memakai gelang rajutan yang aku beli murah ketika aku
sekeluarga melancong ke Jogja. Aku suka bagaimana dia tersenyum melihat aku menunggunya.
“Sudah lama ya?!”
“Enggak lama kok, baru saja. Tadi
aku juga habis dari ruang guru.”
Bono
cengar-cengir. Dia tahu dirinya sudah tidak ada lagi di parkiran sepeda itu.
Sepeda gunungnya ia kayuh meninggalkan kami berdua dan lenyap di aduan masjid
dan tembok sekolah.
“Kenapa? Dipanggil lagi sama Bu
Kinal?”
Aku
menggeleng. Ada rasa khawatir yang menguap di antara kami. Perjalanan
akademisku di sekolah memang tidak terlalu baik. Baru-baru ini, aku harus
mengulang ujian mata pelajaran matematika karena aku lebih memilih mengikuti
perjalanan Margio membuntuti sirkus keliling ketimbang mengingat apa guna sinus, cosinus, dan tangen. Aku bahkan menandatangani perjanjian jika aku harus lebih
baik lagi di kelas dua. Jika tidak, aku
dipersilahkan hengkang dan pindah sekolah, ketimbang nanti naik kelas tiga dan tidak
lulus UN lalu memalukan sekolah ini.
“Dipanggil Pak Markus. Katanya
esaiku soal fungsi idola sebagai penyelesaian sengketa global ia sebut ngawur
dan mengada-ada. Aku sudah katakan, di era di mana kepercayaan publik kepada
pemerintah terus menurun, hubungan idola dan fans yang mengedepankan keintiman
bisa dijadikan sebagai katalis grup penekan untuk pihak-pihak yang sedang
bertikai. Tapi sepertinya dia tidak membeli argumen tersebut.”
Gita
tersenyum. Lagi-lagi, dia semacam tidak peduli dengan omong kosong yang aku
tembakkan ke mukanya karena serta-merta dia langsung duduk di jok belakang.
Bayang-bayang aroma stroberi mengikutinya, menutup bau keringat
yang jauh tertinggal, manis dan menusuk hidung.
“Ayo jalan! Aku lelah dan mau mandi,”
ujar Gita sambil menepuk pundakku dari belakang dua kali, lumayan kencang. Rahangku
seketika berdenyut lagi.
Aku
mengayuh sepeda ibu dua kali bertenaga, lalu membiarkan gaya bekerja mandiri
menyusuri jalanan setapak yang sepi karena hari sudah sore. Aku bisa merasakan
tangan Gita yang lentik bermain-main di pundakku, menciptakan irama yang menemani
perjalanan kami ke rumah. Terkadang tangannya diam, lalu sedikit memijat-mijat
seiring dengan jalanan daerah kami yang tidak terlalu rata. Jika jalanan
menurun atau aku mulai meningkatkan kecepatan, tangannya meremas, berharap aku
ingat akan keselamatan kami berdua. Jika tidak, dia akan mencubit kecil pundak
dan berteriak di telingaku.
“Pelan-pelan, oi!”
“Eh, iya. Maaf Git, tadi jalanannya sedikit
menurun,” ujarku tetap fokus ke jalanan. Kalau sudah begitu, ingin sekali
rasanya melihat ke belakang dan memergoki wajah kesalnya ditimpa sinar mentari
dan angin.
Rute
kami sebenarnya lumayan jauh. Kami pertama harus menyusuri jalanan pinggir
sungai yang mengairi sawah-sawah dekat perumahan kami. Sepanjang jalan, deretan
pohon kapas akan memandu perjalanan pulang. Sering kapasnya rontok dan hinggap
di kepalaku sebelum diambil Gita, dia bulat-bulatkan itu kapas hingga sebesar biji
kacang, lalu dia buang.
Setelahnya
kami menyusuri perumahan yang sebagian besar warganya bekerja sebagai peternak
dan petani untuk pemerintah. Sepeda pun harus bergerak lebih lambat karena
berbagi jalan dengan warga lain yang beringsut-ingsut pulang ke rumah mereka. Kalau
sudah begitu, aku biasanya mencari topik yang bisa membuat cerita ini tidak
terlalu membosankan.
“Tadi rapat OSIS-nya apa kabar, Git?”
“Buntu. Fariz mau dana festival
sekolah tahun ini dibebani ke semua anak-anak, dari kelas satu sampai kelas
tiga. Masing-masing iuran minimal tiga ribu perak.”
“Aku enggak setuju,” ujar Gita
melanjutkan, “itu kan namanya pemaksaan, ya.
Aku menyarankan kita membuat suatu kerajinan atau menjual makanan-makanan
ringan ke warga sekitar, kan usahanya lebih kelihatan.”
“Terus?”
“Ya,
mereka pada enggak setuju! Mereka bilang waktunya enggak cukup dan belum tentu
kita mampu mengumpulkan dana yang ditargetkan. Setelah itu Fariz bercanda,
bilang kalau aku yang bakal menyatroni kakak kelas untuk dimintai iuran. Katanya
kakak kelas pada takut sama aku, kan gendeng!”
“Terus, Fariz kamu hantam
enggak?” ujar aku sembari gagal menahan tawa.
“Ya enggak lah! Kamu sama saja kaya Fariz. Aku tidak pernah lagi
menghantam seseorang setelah ayah ketika SMP kelas satu. Latihan karate pun aku
sudah berhenti sejak kelas enam SD.”
Gita
terdiam, dari dalam dirinya ingin meletus suatu kata-kata, tetapi dia seakan
belum siap menjadi rentan. Aku mencoba memfokuskan diri dan mengantisipasi
segalanya.
“Andai semua orang bisa menjadi apa
saja di dunia tanpa harus memikirkan perkataan orang lain, ya.”
Belum
siap aku mengunyah kata-kata penting dari Gita, dari belakang, tangannya yang
cekatan menampar sekaligus mendorong pipiku untuk kembali ke haluannya semula,
menghadap jalan. Rasa sakit yang belasan tahun terus melingkari alam bawah
sadarku kini kembali naik.
Di
samping kami mulai terhampar kebun-kebun luas dan peternakan sapi-sapi impor. Tanah
subur yang menjadi primadona di desa kami mendatangkan banyak perusahaan,
swasta, negeri, dan luar negeri untuk membangun kerajaan uang mereka di sini.
Dari mulai kebun stroberi, anggur, buah naga, sampai melon. Aromanya bercampur,
warnanya bertabrakan.
“Git...”
“Git.”
“Git! Ada yang mau aku bicarakan.”
Gita
masih diam. Angin yang mendobrak masuk dari sela-sela daun pohon Naga yang
serupa kaktus memang mengusik pendengaran kami. Aku coba menengok ke belakang. Siap-siap
untuk memalingkan lagi wajah ketika Gita marah. Tetapi dia tetap dalam diam.
“Kenapa sih, Git?”
“Fariz suka aku...”
“Apa?”
“Fariz kayanya suka aku.”
“Kok kayanya, kamu belum yakin?”
“Dia bilang begitu ke kamu?” ujar
aku memastikan kebingungan ini selesai sebelum kebun buah naga tidak terlihat
lagi.
“Aku merasa. Dia seperti mengirimkan
sinyal-sinyal itu. Lawakannya, godaannya, ajakannya untuk kami makan bersama di
kantin. Ada hal yang dipaksakan agar aku memikirkan dirinya selalu.
“Terus perasaan kamu?”
“Ya,
aku enggak tahu! Aku merasa aku mengirim sinyal yang sama, tapi aku tidak
pernah merasa itu bagian dari rasa suka yang aku miliki. Aku bingung.”
Aku
terdiam. Di tentang hamparan kebun ini tinggal lapangan kosong favorit kami yang
telah menjadi perumahan. Aku mengayuh sepeda berulang-ulang. Berulang-ulang
kali merangkai kata yang ingin kami berdua dengar ketika itu.
“Coba kamu tanya dia baik-baik, Git.
Perasaan Fariz ke kamu bagaimana.”
“Tapi perempuan bukannya harus sabar
menunggu?”
“Git, kamu tidak pernah sabar
menunggu ketika aku dan anak-anak memukulimu di lapangan yang tadi kita lewati.
Kamu mengalahkan kami semua. Kamu juga tidak pernah sabar menunggu aku
menawarkanmu pergi ke sekolah dengan sepeda. Kamu bisa saja menunggu dan
memilih jalan kaki, lalu mencium aroma tahi sapi dan bau menyengat anggur busuk
yang gagal panen di perjalanan pulang.”
“Gita adalah Gita. Apa yang terjadi,
akan selalu seperti itu.”
“Woo!
Sok-sokan menasehati,” ujar Gita sembari menoyor kepalaku sampai mengangguk
seperti boneka anjing di dasbor.
Gita
lalu melompat turun tepat di rumahnya ketika sepeda yang aku kendarai masih
bergerak pelan. Kepiawaiannya berkarate tidak pernah hilang sepenuhnya. Dia
mendarat manis di atas kedua kakinya, puas seperti atlet lompat indah yang baru
saja menyelesaikan trik tersulit di dunia.
“Tadi kamu mau bicara sesuatu kan!?”
Aku
yang memasrahkan sepeda membawaku ke mana saja ini berhenti. Aku tengok dia
dari kejauhan, aku kumpulkan suara di paru-paru, aku bentuk tangan di mulut
seperti pengeras suara. Aku berteriak.
“Besok lagi sepulang sekolah! Aku sudah
lupa!”
*
Comments
Post a Comment