Serial Game of Thrones Senin (20/05) lalu telah berakhir dan
sepertinya penonton tidak puas dengan konklusinya. Ketidakpuasan itu ditandai
dengan dipetisikannya HBO selaku media yang menyiarkan serial Game of Thrones
melalui laman Change.org. Hingga saat ini (27/05), petisi tersebut telah
ditandatangani lebih dari 1,5 juta pengguna.
Di kolom petisinya, si pembuat petisi menuliskan jika David
Benioff dan D.B Weiss tidak kompeten dalam menulis cerita pamungkas ketika buku
A Song of Ice and Fire yang menjadi referensi utama belum diselesaikan oleh
George R. R. Martin. Dia pun meminta HBO untuk membuat ulang season terakhir
tersebut dengan akhir yang “lebih masuk akal”.
Saya tidak akan membahas perlu atau tidaknya petisi tersebut
dicanangkan, tetapi hal yang ingin saya bahas adalah bagaimana praktik crowdsourcing (urun daya), menjadi tanda
jika internet berpotensi untuk mendesentralisasikan informasi demi masyarakat
yang lebih liberal dan demokratis.
Praktik urun daya sederhananya merupakan cara mencapai suatu
tujuan tertentu menggunakan bantuan pengguna internet yang lain. Entah dengan
cara menandatangani petisi daring, bantu membagikan informasi melalui fitur
ritwit dan share, atau memberikan informasi tambahan, hingga mendonasikan
sejumlah uang, praktik urun daya dapat terjadi ketika; pertama, internet
menjadi teknologi yang bisa diakses secara murah dan merata; dan kedua,
masyarakat memiliki sikap kooperatif untuk membuat praktik urun daya tersebut
berhasil.
Ketika internet menjadi teknologi murah yang bisa diakses
semua orang, ketika itu pula kita membayangkan sebuah konsep informasi yang
berbeda. Dahulu, informasi selalu hierarkis dan tersentral, entah dalam bentuk
berita harian di dalam koran, film atau ensiklopedia, kuasa atas informasi
selalu dipegang oleh segelintir orang atau institusi dan mereka lah yang
menentukan apa itu kebenaran menurut versi mereka sendiri.
Kini kehadiran internet mengubah hal tersebut. Basis
material internet membuat setiap orang dibayangkan memiliki alat untuk mengunggah
informasi mereka sendiri. Setiap orang kini bisa menentukan apa saja informasi
yang ingin dia akses, dari mana informasi tersebut diakses, dan informasi apa
yang ingin dia unggah. Praktik tersebut membuat informasi di era internet mulai
terdesentralisasi dan hierarki atas informasi sedikit demi sedikit mulai tidak
relevan lagi.
Ambil contoh Wikipedia. Ketika Jimmy Wales meluncurkan
Wikipedia pada 2001, banyak orang bertanya-tanya, siapa yang mau mempercayai
situs tipe almanak yang bisa ditulis, diedit, dan dibaca semua orang secara
kolaboratif ketimbang misalnya, Encyclopedia
Britannica yang lebih otoritatif. Namun demikian, hingga sekarang Wikipedia
telah menjadi salah satu situs terpenting yang diakses pengguna ketika mencari
suatu informasi. Kita bisa saja mencari tanggal lahir semua anggota JKT48
ketika Encyclopedia Britannica tidak memiliki
informasi tersebut.
Yang paling penting, Wikipedia mengisyaratkan ketika setiap
orang dapat terlibat untuk menentukan bagaimana kebenaran akan dibeberkan, Wikipedia
mampu menjadi ruang informasi yang inklusif dan dengan sendirinya kebenaran
secara gamblang bisa diperdebatkan.
Aspek lainnya adalah sikap kooperatif perihal hubungan antar
manusia. Sikap tersebut biasanya ditentukan oleh motivasi ekstrinsik, atau
motivasi intrinsik. Sikap kooperatif yang ditentukan hal luar, seperti uang,
relasi timbal-balik, hingga ancaman adalah hal pertama, sedangkan hal kedua
merupakan sikap kooperatif yang ditentukan dari dalam diri pelakunya, seperti
kesenangan dan kepuasan personal.
Setiap orang tentu bisa terlibat dalam praktik urun daya
melalui beragam motivasi. Entah terlibat di dalam praktik donasi KitaBisa.com
karena ingin dianggap sebagai orang yang dermawan dan peduli, atau menjadi
fansite, fans grup K-Pop yang rela mengikuti dan memotret kegiatan idolanya
untuk kemudian diunggah di media sosial demi kepuasan personal. Pada akhirnya,
motivasi setiap individu akan selalu berkaitan secara spesifik dengan konteks
sosial dan kultural masing-masing.
Kembali ke Game of Thrones, agaknya memang utopis jika akhir
dari setiap film dapat memuaskan hati setiap penontonnya, wabil khusus untuk
Game of Thrones, serial TV paling populer yang ditonton 19,3 juta pasang mata.
Ketidakpuasan penonton terhadap produk media pop pun
sebenarnya bukan hal baru. Henry Jenkins, seorang pengkaji budaya fans
menyoroti bagaimana para kelompok perempuan penonton Star Trek membikin cerita
Star Trek versi mereka sendiri ketika mereka merasa cerita aslinya begitu
patriarkis dan tidak menguntungkan kelompok perempuan. Di dalam ruang imajinasi
para fans tersebut, Captain Kirk dan Spock adalah pasangan yang saling
mencintai.
Cerita versi fans bukan berarti bisa begitu saja bebas dari
campur tangan sang pembuat film sebagai pemilik informasi utama. Dalam kasus
fan-film Star Trek, Paramount Picture dan CBS sebagai pemilik HAKI Star Trek
memberi aturan untuk para fans yang ingin menggarap fan-film, salah satunya
adalah tidak boleh untuk tujuan komersil dan harus menggunakan aksesoris resmi
dari Star Trek.
Lewat kehadiran internet, kita bisa membayangkan jika
praktik petisi daring yang dilakukan penonton Game of Thrones adalah cara
alternatif selain fanfic di mana para penonton yang tidak puas dengan akhir
Game of Thrones bisa mendesak HBO untuk membuat akhir yang lebih baik.
Kehadiran petisi daring bukan berarti meniadakan fanfic Game
of Thrones. Fanfic tentang realitas alternatif di mana Daenerys dan Jon Snow
hidup bersama dan saling mencinta tetap ada, namun berkat kehadiran petisi
daring, setidaknya kita bisa menyadari jika HBO kini bukan lagi pemilik
pengetahuan atas Game of Thrones yang paling dominan, dan pengetahuan resmi
atas Game of Thrones ternyata juga bisa digoyang dan diperdebatkan.
Pemilik media dahulu berhak untuk membatasi setiap karya fans
dalam bentuk copyright, anggap saja
ini adalah bentuk keadilan puitis dari fans untuk menentukan bagaimana pemilik
media seharusnya mengakhiri cerita yang mereka buat.
bagus sekali untuk dibaca
ReplyDeleteasphalt finisher