Toxic masculinity, mungkin istilah ini sudah sering bersliweran, baik di dalam perbincangan warung kopi atau di linimasa media sosial sejak awal 2018, hingga sekarang. Istilah populer tersebut dipakai untuk menjelaskan segala stereotip yang membentuk waham laki-laki sejati. Dikatakan jika laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki harus tegas, laki-laki adalah pemimpin, laki-laki tidak boleh memasak di rumah karena itu tugasnya perempuan, dan banyak larangan-larangan lainnya.
Kemunculan istilah toxic
masculinity ini tentu saja pertanda baik bagi masyarakat Indonesia.
Setidaknya melalui istilah tersebut, masyarakat menyadari jika di dalam lingkup
ideologi patriarki, bukan hanya kelompok perempuan saja yang dirugikan, namun
dalam beberapa kesempatan, laki-laki juga dirugikan oleh hal tersebut. Salah
satu korbannya ialah karakter Abah di dalam film Keluarga Cemara garapan Yandy
Laurens.
Abah adalah karakter rekaan Arswendo Atmowiloto yang
dihidupkan kembali oleh sosok Ringgo Agus. Jika dahulu Abah berprofesi sebagai
tukang becak, kini dalam interpretasi Yandy, Abah adalah seorang pengemudi ojek
online.
Tidak seperti kisah bahagia di mana orang-orang sengaja
meninggalkan pekerjaan utamanya untuk menjadi pengemudi ojek online karena
lebih menguntungkan, bagi Abah, pekerjaan tersebut bukanlah pilihan utamanya.
Dahulu Abah adalah seorang pengusaha sukses nan sibuk, beranak dua, yang
tinggal di rumah cluster relatif
mewah; khas kehidupan kelas menengah kota yang sedang menanjaki strata
sosialnya.
Tidak seperti kisah bahagia pula, Abah malah ditipu
saudaranya sendiri hingga mengorbankan semua harta bendanya, kecuali keluarga
kecil yang dia miliki; Emak (Nirina Zubir), Euis (Zara JKT48), dan Cemara
(Widuri Sasono). Tidak memiliki rumah lagi, Abah bersama keluarganya memutuskan
‘mengungsi’ ke rumah tua milik Aki-nya di pinggiran Bogor. Di sana, Abah dan
keluarga harus menghadapi kenyataan lain jika hidup mereka berubah 180 derajat.
Film sebagai produk budaya populer sering kali lekat dengan
ideologi dominan, salah satu tujuannya tentu agar sesuai dengan selera massa.
Dalam kasus Keluarga Cemara, cerita yang awalnya dibuat dalam bentuk buku pada
1981 oleh Arswendo ini, jika ditarik ke dalam praktik sosial yang lebih kontekstual
ikut melanggengkan wacana keluarga ideal a la rezim Suharto.
Abah adalah pemimpin tertinggi di dalam keluarganya. Lagu
“harta yang paling berharga adalah keluarga” yang terdengar begitu mengharukan
adalah bentuk objektifikasi, di mana harta sebagai simbol material harus
dimiliki dan Abah adalah pemilik yang bisa mengeksploitasi – bila tidak
mengakumulasi dan mengekspansi – ‘harta’ tersebut.
Sepanjang film kita disuguhi dengan adegan-adegan di mana wacana
tentang keluarga ideal tersebut bekerja. Sebagai seorang pengusaha sukses
misalnya, Abah ditampilkan tidak bisa menepati janji anaknya Euis karena ia
sibuk bekerja. Euis, meskipun terlihat kecewa, ia tidak bisa mengutarakan
kekecewaan tersebut kepada Abah, karena bagaimanapun Abah adalah tulang
punggung keluarga yang harus didukung sepenuh hati.
Abah juga ditampilkan sebagai sosok yang tegas dan tenang.
Ketika mengetahui kasus penipuan yang temannya bawa ke meja hijau kalah dan ia
mungkin tidak akan kembali ke Jakarta untuk selamanya, Abah seperti laki-laki sejati
tidak memberitahukan hal tersebut kepada keluarganya. Adegan tersebut
mengimplikasikan jika beban keluarganya akan dia tanggung sendiri, bagaimanapun
beratnya.
Ideologi dominan yang direproduksi film Keluarga Cemara kini
mungkin terasa usang ketika masyarakat Indonesia mulai mengenal konsep
maskulinitas baru; laki-laki yang tidak ragu mengekspresikan emosinya,
berbanding terbalik dari karakter Abah yang mengusung konsep maskulinitas
tradisional, yang tenang dan dominan.
Abah di era sekarang mungkin saja bisa kita sebut sebagai
laki-laki yang mereproduksi toxic
masculinity, namun sebagaimana film remake
yang dibuat di era modern, kita selalu bisa melihat twist di dalam ceritanya. Film Pengabdi Setan yang digarap Joko
Anwar sebagai contoh, keluar dari kode-kode genre film horor era Suharto yang
menegaskan peran agama sebagai figur sentral untuk menyelesaikan masalah.
Karena dalam interpretasi Joko, peran agama tidak serta-merta bisa
menyelesaikan masalah keluarga tersebut.
Film Keluarga Cemara garapan Yandy di sisi lain, secara baik
menangkap perkembangan karakter Abah yang awalnya mengusung konsep maskulinitas
tradisional, secara perlahan bergeser ke maskulinitas baru, seiring dengan
berubah dan berpindahnya keluarga mereka dari Jakarta ke pinggiran Bogor.
Di tempat yang baru, Emak mulai menjadi figur aktif di ranah
publik sebagai penjual opak, Emak bahkan mendorong Euis untuk berjualan opak di
sekolahnya, kegiatan yang bagi remaja khas kelas menengah seperti Euis tidak
pernah ia bayangkan sama sekali. Abah, ketika menghadapi pengembangan plot
tersebut, mulai insecure dan terlibat
pergulatan batin, berpikir jika keluarganya harus hancur akibat ulahnya
sendiri, ketika sebenarnya hidup keluarganya hanya keluar dari tujuan awal dan
menuju tujuan yang lain.
Adegan paling membekas yang menggambarkan bagaimana
perubahanan maskulinitas Abah adalah ketika dia memarahi keluarganya di ruang
tidur, mengatakan jika sebagai pemimpin, semua anggota keluarga adalah tanggung
jawabnya. Dengan polos dan sedikit terisak, Euis berkata,
“Kalau
kita semua tanggung jawab Abah, lalu Abah tanggung jawab siapa?”
Mendengar bantahan tersebut, Abah tidak naik pitam, dia
langsung duduk termenung, menunduk dan akhirnya menangis. Adegan ini menjadi
sangat penting karena kita tidak hanya melihat puncak perubahan maskulinitas
Abah. Kita juga melihat bagaimana bantahan seorang anak terhadap bapaknya
terjadi, ketika praktik sosial di Indonesia sering mengekspektasikan figur
bapak menjadi pengambil keputusan dominan yang tidak bisa diganggu-gugat oleh
anggota keluarga yang lain.
Saya pikir masuk akal ketika produser film ini mengklaim
telah membikin nangis orang-orang yang menontonnya. Film Keluarga Cemara tidak
hanya terasa dekat karena mengusung ideologi dominan yang dirasakan oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia. Film ini juga menjadi manis karena membawa pesan
jika toxic masculinity bukanlah hasil
akhir, melainkan sebuah proses di mana orang-orang yang dirugikan karenanya
bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Comments
Post a Comment