Skip to main content

Aishiteraburu

Mobil merah konvertibel itu melaju kencang, melipat-lipat hamparan hutan pinus yang tertinggal bersama dengan deru mesin. Perempuan berbaya itu menyetir, suntuk dan jari-jarinya mengetuk tuas persneling. Aku di samping, melihat rambutnya berusaha dibawa lari oleh angin sedangkan belum ada keinginan ini untuk menyatakan cinta.

Perempuan itu adalah penculik, setidaknya itu yang dia bilang ketika menelepon keluargaku tadi. Dia mengajak aku pergi ketika aku pulang sekolah, di waktu-waktu yang panas, ketika si bangsat Herman memukul perutku dan pekerjaan rumah yang belum dikumpulkan.

Aku pernah dengar nasehat para orang tua soal orang asing. Jangan percaya mereka sama sekali. Tapi pada orang tua yang tidak pernah percaya tentang orang asing jahat yang cantik, kini dia tepat di depanku, menatap dari atas ke bawah.

Perempuan tersebut menghampiriku, angkuh dan tidak bisa ditolak. Dia bilang akan mengajak aku ke suatu tempat yang menyenangkan. “Menyenangkan untuk siapa?” aku bilang seperti itu. Dia bilang tidak penting menyenangkan untuk siapa, yang paling penting adalah aku ikut.

Sebelum aku sempat menolak ajakannya, dari mulutnya keluar gunung-gunung yang rapat, hutan-hutan yang sejuk, dan terakhir adalah pantai yang berkilau, tempat yang dia bilang akan kita datangi nanti. Dia tidak mendengar apapun yang aku ucapkan, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah makin tebal keinginanku untuk peduli setan.

Perempuan ini, jika aku tebak umurnya mungkin ada di senja 30. Dari rambutnya ikal kecoklatan, mengular sampai bahu. Dia memakai kacamata rangka bulat, pipinya bulat merah, matanya bulat, hidungnya juga bulat. Hanya senyumnya saja yang tidak bulat, melainkan tipis dan lebar.

Dia tersenyum ketika aku bilang aku ikut. Setelah itu kami berdua jalan menuju mobilnya dan seketika senyum itu tiada. Sepanjang jalan, kami lebih banyak diam. Dia lebih banyak menggerutu dan bosan dan suntuk, aku sebaliknya khawatir soal apa yang akan dia tanyakan dan jawaban tersebut membuatnya kecewa.

Angin jalanan keras menerpa, tenggorokanku kering tapi sangat ingin bersuara. Ini penculikan, tapi apakah harus sesunyi ini? Aku pernah menonton sebuah drama tentang penculikan, seorang anak perempuan dari keluarga kaya, diculik oleh segerombolan laki-laki berpakaian belel, digondol kasar-kasar dalam mobil jip yang gagah, juga terlihat menyedihkan.

Di dalam mobil tersebut, si perempuan menangis dan menjerit, tatkala tangan-tangan besar yang kasar membuat cap di pipinya yang mulus. Mata si perempuan ditutup, mulutnya dilakban, dan jerit tangis korban berganti dengan riuh-rendah penculikan yang berhasil, keluar dari mulut-mulut bau jigong para pencuri.

Dibandingkan dengan adegan tersebut, apa yang aku alami ini begitu berbeda. Apakah penculikan yang nyata terjadi seperti ini? Yang terjadi sebenarnya, penculik dan terculik seakan terpisah, menyimpan gundah dan tegangnya masing-masing. Aku pikir, untuk seorang yang rela menculik demi uang, hal ini bukanlah permainan sepele. Ada sesuatu yang harus dipertaruhkan.

                “Nama mbak siapa?”

Aku memecahkan kesunyian itu dengan simpati ketololan yang naif. Setelah pertanyaan tentang nama hilang jauh-jauh dari otak, penyesalan datang kemudian. Harusnya ada pertanyaan yang lebih cocok, untuk penculik dan terculik di dalam mobil yang sedang melaju kencang membelah jumudnya pepohonan.

                “Jangan panggil aku mbak..”

                “Panggil aku Yona, cukup Yona,” kata-kata itu keluar dari mulut dan matanya tidak mau ikut campur, fokus dengan kesepian jalanan .

Tiba-tiba dia mengeluarkan telepon genggam dari kantong jinsnya. Lewat tarian jemari kiri yang ringkas, dia telah terhubung oleh seseorang di luar sana.

                “Anak anda saya culik,”

                “Anak yang mana?” wajah Yona mengernyit, ada kesan jijk dalam tiap-tiap kerutannya.

                “Kamu anak yang mana?”

Pertanyaan pertama dan aku sama sekali tidak mengantisipasi pertanyaan tersebut. Ayolah, aku berharap pertanyaan yang lebih personal, bukan pertanyaan macam ini.

                “Aku anak seorang perempuan yang dari mulutnya keluar kata-kata menyakitkan,”

                “Kamu enggak punya penjelasan yang lebih singkat?”

                “Aku Doni.”

Dia mengulang nama yang sama di telepon, sigap menanti balasan. Langsung, telepon tersebut disodorkannya ke kupingku yang lengang. Dari mulutnya dia meminta aku untuk bicara. Aku ucapkan kata-kata yang aku sendiri tidak tahu untuk apa, dia menarik telepon itu lagi dan bergumam meminta uang tebusan.

                “Ayahmu baik,” ujarnya sembari memasukkan telepon genggam ke kantong jins.

                “Ayahku punya uang.”

                “Tidak banyak orang tua yang langsung setuju nominal uang yang aku berikan. Meski hal yang kita bicarakan ini adalah anaknya, namun yang lebih sering, adalah mereka menawar harga yang lebih murah. Aku tidak berdagang! Dan anak kalian bukan dagangan, buat apa para orang tua menawar anaknya! Sungguh tidak masuk akal!”

                “Bagaimanapun, kalian telah bekerjasama dengan sangat baik. Kamu nanti aku turunkan di pantai seberang. Tenang saja, kamu akan pulang ke rumah dalam keadaan utuh.”

Yona, perempuan penculik ini lalu bercerita tentang orang-orang terdahulu yang tidak pernah pulang dalam keadaan utuh. Mereka mati dan hanya tangis dan jerit para keluarga yang tersisa di dalam rumah dan di sekitar tanah-tanah pemakaman. Tidak pernah utuh, begitu juga Yona. Setiap kematian yang lahir adalah tercungkilnya sedikit demi sedikit bongkahan hatinya.

                “Aku tidak pernah mau untuk menculik.”

Lirih. Kata yang menenggelamkan semua pertanyaan yang sudah aku siapkan dari lalu. Dari dan tentangnya, aku menemukan sebuah persamaan, yang setidaknya bisa memupuk segenap alasan kuat untuk kita bisa selalu bertemu, bercerita.

                “Aku juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan.”

                “Taikucing! Ayahmu adalah orang paling kaya di kota ini, semua orang tahu namanya! Di koran di televisi, semua orang menjilatnya seperti keringat yang jatuh adalah koin untuk para miskin. Bagaimana kamu bisa meminta untuk tidak dilahirkan jika kamu kenyataannya lahir dalam keadaan yang begitu menyenangkan!”

                “Aku selalu benci anak-anak kaya, anak-anak sepertimu itu. Anak-anak yang telah digariskan oleh kemewahan dan kekuasaan, tetapi seakan acuh dan berkata jika mereka tidak pantas mendapatkannya. Aku beri tahu, kamu egois. Kamu tidak akan lebih baik lahir dari sebuah keluarga miskin yang hancur.”

Aroma pantai kian tebal tercium dan aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Ini perasaan kesal dan gelisah yang berputar-putar di antara kami. Di titik awal dan hingga titik akhir, aku tidak pernah tahu siapa diriku. Dan mungkin saja, Yona adalah satu-satunya perempuan yang bisa terus mengingatkan aku kembali.

Mobil berhenti dan Yona mempersilahkan aku untuk turun. Dari deburan ombak dan suara mesin yang menderu halus, aku turun dan menutup pintu mobil. Aku berdiri di tentang mobil merah yang bersiap untuk melaju, dan aku tidak pernah lagi merasa utuh.

“Aku suka kamu!” teriak aku dari kejauhan, mengantarkan mobil tersebut melaju ke ufuk timur. Penculik itu tidak pernah menepati janjinya.

Comments

Popular posts from this blog