Skip to main content

Dilan, Dia adalah Hasratku Tahun 1990



Dilan, siswa SMA panglima geng motor yang kasar, ganteng, dan romantisnya kebangetan itu bukanlah tokoh utama. Dalam wujud yang sederhana, film garapan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini bercerita tentang Milea, subjek yang dalam pengembaraannya, berhasrat untuk membebaskan diri dari tubuh yang terkekang, melalui sosok Dilan.

Milea adalah tokoh utama, namun tidak seperti tokoh-tokoh utama dalam film lain yang memiliki kekurangan dan sebuah tujuan yang ingin dicapai, Milea tidak. Dia telah sempurna bahkan sejak paragraf pertama film ini dituturkan. Jika merujuk konteks historis tahun 1990, Milea tentu berada pada posisi sosial tertinggi; dia anak seorang tentara, dia adalah anak Jakarta yang pindah ke Bandung untuk bersekolah. Menjadi wajar jika kemudian, Milea memiliki banyak teman, dia juga didekati banyak pria, padahal dia baru bersekolah selama dua minggu.

Cerita tentang Milea, yang terkesan datar seharusnya tidak terlalu menarik. Sepanjang cerita, penonton tidak disuguhkan konflik atau perkembangan tokoh yang berarti, semuanya seakan berada di posisi yang semestinya, Milea adalah potret remaja yang sedang menikmati kejayaan masa muda. Lalu mengapa film Milea ini begitu populer? Bahkan bisa menembus satu juta penonton hanya dalam kurun waktu satu minggu saja? Apakah sosok Dilan adalah jawabannya?

Penonton sepakat, jika menyebut satu hal saja yang menarik dari film ini, tentu saja jawabannya adalah laku gombal Dilan kepada Milea. Dilan yang bad boy, Dilan yang romantis, Dilan yang ganteng, adalah potret laki-laki maskulin yang dari era Orde Baru hingga Reformasi tidak pernah berhenti direproduksi dalam bermacam produk-produk budaya pop. Sederhana saja, penonton masih suka.

Namun demikian, jika kembali merujuk bahwasanya film ini adalah film tentang Milea, apa fungsi utama dari Dilan? Argumentasi saya, Dilan, dan semua laki-laki yang mendekati Milea, adalah hasrat yang dalam pandangan psikoanalis Jacques Lacan, adalah pelengkap dari kekurangan (lack) yang Milea alami sebagai subjek.

Subjek menurut Lacan dibentuk oleh dua tataran, Symbolic dan Imaginary. Tataran Imaginary adalah refleksi diri yang didapat melalui liyan, imaji-imaji yang membentuk ego-ideal, atas subjek yang lengkap dan total. Tataran Symbolic selanjutnya masuk bersamaan dengan bahasa, menekan ego-ideal dan tataran Imaginary melalui serangkaian norma-norma, tradisi, dan hukum yang terstruktur.

Meski keduanya saling berkelindan, subjek memiliki kecenderungan untuk bergantung kepada tataran Symbolic. Nick Mansfield dalam bukunya Subjectivity: Theories of the Self from Freud to Haraway  (2000) mengungkapkan, tataran Symbolic menyebabkan subjek yang dahulu lengkap dan total, menjadi kurang (lack) dan kekurangan tersebut harus diisi dalam bentuk hasrat.

Mari kita kembali ke Milea. Menempati posisi sosial tertinggi tentu menyenangkan, namun bagi Milea – seorang perempuan yang hidup dalam dominasi patriarki di era Orde Baru, ego-idealnya sebagai subjek yang paling dominan dan berkuasa, tidak akan pernah lengkap. Selalu ada figur ayah sebagai Symbolic yang menekan keinginan Milea. Dalam suatu adegan misalnya, Milea tidak bisa berkutik untuk menolak ajakan Kang Adi untuk melihat-lihat ITB, hanya karena ayahnya telah memberi izin kepada Kang Adi tanpa sepertujuannya, Milea hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.

Sampai sini, bolehlah kita anggap jika adegan-adegan dimana Milea tersubordinasi oleh ayahnya sudah sering terjadi. Kekurangan (lack) tersebut itu lah yang coba Milea tutup dengan hasrat. Menariknya tentang hasrat, dia selalu muncul melalui tataran Symbolic, jadi apa yang tidak bisa didapatkan karena ada Symbolic, haruslah ditutup dengan hasrat. Dan dalam kasus Milea, ego-ideal berupa sosok yang dominan dan berkuasa yang ia dapat dari ayahnya, didapatkan melalui hasrat berupa laki-laki, yang mungkin saja kali ini, bisa ia kuasai.

Hasrat menurut gagasan Lacan tidak akan berhenti dan tidak pernah terpuaskan. Maka seperti yang pernah saya ungkapkan, film ini bercerita tentang pengembaraan hasrat Milea, dan semua laki-laki yang dekat dengan Milea; Beni, Nandan, Kang Adi, dan Dilan, adalah hasratnya. Mari kita bahas satu persatu.

Semuanya tentu bisa melengkapi ego-ideal Milea yang tertekan; Beni adalah anak Jakarta yang kaya, Nandan juara kelas dan jago olahraga, Dilan (tentu saja) panglima geng motor yang pandai memikat hati perempuan, dan Kang Adi adalah mahasiswa dari kampus bergengsi di Indonesia, ITB. Semuanya adalah figur dominan dan berkuasa.

Beni, pacar Milea ketika di Jakarta, ternyata menyimpan perilaku kasar yang menurut Milea “tidak dia suka”. Berarti perilaku tersebut telah dilakukan berulang, dan Milea seakan menerima keadaannya tersebut. Terlebih Beni juga memiliki sifat posesif sehingga Milea terkekang. Namun dengan kesadaran penuh, bahkan ketika surat pertama dari Dilan ia terima, Milea tetap mengangkat telepon Beni dengan senang hati.

Nandan dan Kang Adi selanjutnya, memang hanya pemanis adegan, dan seperti Beni, Milea membiarkan ketiganya mendekati dirinya, Milea seakan menikmati pengalaman tersebut. Namun semua berubah ketika Dilan datang. Ketiganya seakan tidak bisa melengkap ego-ideal Milea, mereka pada akhirnya ditolak dengan tegas dan hanya Dilan orang yang bisa mengisi kekurangannya.

Dilan menjadi penting karena dia tidak merefleksikan tataran Symbolic. Tidak seperti tiga laki-laki lain yang pada akhirnya menekan ego-ideal Milea dengan menjadi Symbolic; Beni mengingatkan Milea untuk tidak selingkuh dan setia pada hubungan monogami, Nandan mengingatkan Milea untuk tidak pergi ke warung Bi Eem karena tempat tersebut merupakan sarang anak nakal, dan Kang Adi mengingatkan Milea lantaran dia pulang larut malam. Dilan tidak. Dia menuruti semua kemauan Milea.

Semuanya jelas tergambar melalui tingkah laku Dilan; dia adalah panglima geng motor, semua murid bahkan kepala sekolah takut kepadanya, dia berani memukul guru ketika upacara bendera yang sakral berlangsung, dan tidak dikeluarkan. Dilan adalah figur paling berkuasa yang mampu mematahkan tataran Symbolic, dan yang paling penting, Dilan tunduk kepada Milea.

Milea menyukai Dilan bukan karena tingkah laku kasarnya yang mendobrak struktur-struktur sosial. Milea menyukai Dilan karena, sebagaimana ego-ideal Milea bekerja, dan tidak seperti figur-figur sebelumnya, Dilan adalah hasrat yang bisa dia kendalikan. Hal ini mengingatkan saya dengan ucapan Milea yang sangat mewakilkan pergulatannya sebagai subjek, dia mengatakan “Dilan mungkin bukan lelaki baik, tapi dia tidak jahat, tetapi tidak kasar.”

Hanya melalui Dilan, ego-ideal Milea bisa kembali lengkap. Dilan yang selalu baik kepada Milea, Dilan yang mengikuti kemauan Milea. Ketika Dilan sedang berkumpul bersama teman-temannya dan merencanakan penyerangan sekolah lain, Milea datang dan meminta Dilan untuk mengajaknya berjalan-jalan, ini adalah cara Milea untuk menghalangi Dilan, membuat Dilan tunduk kepadanya, membuat hasrat ego-idealnya – yang sebelumnya tidak tersalurkan – kini tersalurkan.

Namun semua hasrat yang Milea coba tuntaskan adalah ilusi. Kepuasannya menjadi subjek yang total dan lengkap hanya bersifat sementara, dan sebagaimana hasrat, akan selalu ada permintaan-permintaan lain yang memunculkan hasrat baru, karena ia tidak akan pernah berhenti. Mungkin saja, ketika Dilan tidak lagi mengikuti kemauan Milea, hasrat yang lain bisa muncul.

Milea sendiri telah memperingati Dilan terkait hasratnya. Melalui ekspresi bernada ancaman yang kalah populer dari kutipan-kutipan Dilan yang juga tidak kalah menyeramkan, Milea berujar, “Dilan, kalau kamu masih mengikuti geng motor dan bertempur, aku akan menghilang”. Menghilang, dalam gagasan Lacanian yang paling sederhana adalah mencoret Dilan, dari pengembaraan hasrat Milea yang tidak akan pernah usai.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog