“Kalau yang
itu bentuknya kaya tikus ya?”
“Lebih
mirip gajah sih. Tuh lihat yang panjang itu kaya belalainya.”
“Kalau
yang itu bentuknya kaya apa?”
“Kaya
burung elang, lagi membentangkan sayapnya.”
“Kalau
itu?”
“Kalau
itu, dilihat dari kerut-kerutnya sih mirip Pak Adam kalau lagi bengong depan
rumah.”
“Idih
bandel, aku bilangin Pak Adam kamu ngomongin dia!”
Aku tahu aku berdosa kepada Pak Adam. Aku kerap
menjadikannya bahan lelucon untuk membuat Viny tertawa, dan itu selalu
berhasil. Andai kata Viny merasa lelucon tersebut sudah tidak lucu, mungkin
saja aku akan mencari bahan lelucon lain, tetapi kenyataannya lelucon itu tidak
pernah membuat dia bosan, setiap hari, minggu, hingga tak terasa setahun sudah
berlalu.
Ayah Viny adalah sahabat karib ayahku, mereka menjadi
tetangga baru kami, tinggal tepat dua gang di rumah yang ayah rekomendasikan.
Rumah itu sudah lama kosong, Bu Pohan penjaga warung kelontong dekat situ
pernah melihat perempuan masuk kedalam pohon mangga depan rumah tersebut,
setelah sebelumnya dia membeli gula di warung dan membayarnya dengan daun. Aku
tidak pernah menceritakan hal itu kepada Viny.
Ketika keluarga Viny baru saja pindah, ayah mengajakku
berkunjung, dia bilang aku punya teman baru. Aku tidak masalah bertemu teman
baru, selama ini taktik “menebak bentuk awan” selalu aku pakai untuk berkenalan
dan selalu berhasil. Maka ketika aku bertemu Viny, aku langsung mengajaknya ke
teras, namun sayang cuaca saat itu sedang mendung. Kami memilih untuk
berjalan-jalan di komplek.
Aku mengenalkannya kepada Bengep, kucing liar paling sangar di
komplek. Dan Viny suka, dia garuk-garuk itu leher Bengep hingga keenakan,
wajahnya yang penuh codet dan luka sama sekali tidak lucu! Aku melihatnya dari
jauh sambil bergidik sendiri.
Aku tidak mengajaknya ke warung Bu Pohan untuk membeli Es
Susu Pak Gendut yang enak itu. Alih-alih aku mengajaknya bertemu Pak Adam. Sebenarnya
aku tidak ingin bertemu dia, tetapi karena dia memanggil kami ketika lewat
depan rumahnya, kami masuk.
Setelah itu aku mulai banyak menceritakan Pak Adam, soal
bagaimana ketatnya celana pendek yang dia pakai ketika mencuci mobil, atau
suara batuknya yang berirama, aku ceritakan apa saja tentang Pak Adam yang
sekiranya lucu, dan Viny tertawa.
Pada akhirnya, Viny memintaku untuk sering datang dan
mengajaknya bermain, aku mengiyakan dan meminta izin untuk pulang, begitupun
ayah.
Ayah bilang untuk tidak mengajak Viny keluar rumah, sebagai
gantinya aku bisa bermain di kamar Viny. Ayah tidak bilang alasannya, dia hanya
bilang jika Viny berbeda dengan anak-anak lainnya.
Aku sebenarnya sedikit kecewa jika Viny tidak bisa keluar
rumah. Aku bisa ajak dia bermain sepeda, petak umpet atau petak benteng, atau
sekadar menghabiskan waktu di rumah si kaya Martin. Tapi aku tidak ajak dia
bermain bola, Viny pasti tidak suka menendang bola yang telah berlumur air got.
Di kamarnya pun aku tidak masalah, ibunya Viny begitu baik
dan sering membawakan aku kue-kue atau sekadar makanan ringan dalam toples,
jika Viny tidak suka kuenya, jatah Viny juga aku yang habiskan. Koleksi komik
Viny sering aku obrak-abrik dan aku baca, aku tidak suka ceritanya, tidak
realistis – apalagi soal karakter utama laki-laki yang begitu sempurna, sama
sekali bukan favoritku.
Viny sendiri tidak terganggu oleh kehadiranku di kamarnya. Dia
suka memandangiku ketika aku sedang membaca koleksi komiknya, menanyakan aku
sudah di bagian mana, terkadang membocorkan cerita selanjutnya, meski aku tidak
keberatan akan hal itu, dan dia kesal. Lain waktu dia memerhatikan aku menamatkan
semua game RPG PlayStation yang dia punya, dia tidak pernah memainkan game
tersebut, menyalakan PS tersebut pun jarang. Tapi dari semuanya, yang paling
sering kami lakukan adalah menatap langit dari balkon kamar.
“Yang
kamu lakukan itu namanya pareidolia tau.”
“Apa
itu?”
“Pareidolia.
Fenomena psikologis dimana benda yang kita lihat itu mirip dengan sesuatu yang
bahkan sama sekali tidak ada disana.”
“Semacam
melihat hantu ya?”
“Bisa
jadi, tapi pareidolia bukan halusinasi. Otak manusia, memang akan selalu
mengasosiasikan objek-objek asing kepada suatu hal yang kita kenal dan dekat. Apalagi
awan, bentuknya kan abstrak, dihubungkannya ya sama yang ada di sekitar kita,
lagipula..”
“Eh Lihat!
Itu kaya celana pendek bunga-bunganya Pak Adam!” dan Viny seketika tertawa.
Hari-hari dimana aku tidak di kamar Viny, adalah hari-hari
dimana dia dirawat di rumah sakit. Aku baru tahu mengapa ayah mengatakan Viny
berbeda, dia sakit, dia begitu lemah untuk bisa keluar rumah. Hari satu-satunya
dimana aku mengajak dia keluar rumah – hari pertama kami berkenalan, dia
terlihat berkeringat, berkeringat dan begitu senang.
Ayah bilang, hidup Viny tidak lama lagi. Ayah mengatakannya kepada
ibu di meja makan, setelah kami menyelesaikan sarapan, sebelum aku pergi ke
sekolah. Hari itu mendung dan awan menggumpal hitam.
Waktu itu di kamarnya, Viny menangis. Dia begitu takut, aku
tidak menanyakan apa yang dia takutkan, jika ayahku juga datang kepadanya dan memberitahukan
bahwa dia akan mati, sumpah aku akan menggorok leher ayahku sendiri. Lelucon
tentang Pak Adam setelahnya, tidak lagi terdengar lucu di telinga Viny.
Aku tidak datang ke rumah Viny. Bersama teman-teman yang
lain, aku pergi ke rumah Martin, membongkar dan membaca koleksi majalah dewasa
kakaknya. Sebisa mungkin aku ingin melupakan apa yang menimpa Viny, sembari
mencari lelucon baru ditengah tumpukan majalah-majalah berisi payudara dan
pantat besar, Viny tidak akan suka lelucon ini pikirku.
Tidak punya lelucon baru, aku akhirnya memutuskan untuk
pergi ke rumah Viny. Sebagai gantinya, aku membawa komik Kungfu Komang, salah
satu komik favoritku. Aku harap aku tidak perlu bercerita soal Pak Adam, sudah
tidak lucu. Biarkan Mulbuldosa dan Gwedopang yang membantuku kali ini.
“Kamu
mikirin apa, Vin?”
“Nggak,
aku lagi lihatin awan aja. Ada yang lucu banget.”
“Mana?”
“Itu. Menurut
kamu bentuknya kaya apa?”
“Pan.. tat..?”
“Ih
ngaco! Coba lihat lagi yang bener, masa pantat?”
Terkutuk kamu Martin, majalah dewasa kakakmu membuat awan
tidak bisa dibedakan dengan payudara, pantat, dan tubuh wanita.
“Aku
ngga tahu Vin..”
“Kamu
gimana sih, itukan si Bengep.”
Aku memaksakan diri untuk menghubung-hubungkan awan dan langit
cerahnya dengan wajah buruk dan kotor Bengep. Sekarang menjadi masuk akal
kenapa awan tersebut mirip dengan pantat. Aku terkekeh.
“Setelah
kamu mengenalkan aku dengan Bengep, aku tidak pernah melihat kucing itu lagi. Baru
kali ini aku melihatnya. Bengep, meskipun hanya dalam bentuk awan. Tapi itu
sudah cukup, sebab kenangan dimana kita keluar rumah dan bermain ketika itu bisa
aku ingat-ingat kembali.”
“Jadi
kalau misalnya kita sudah ngga ketemu lagi, jangan sedih karena kamu selalu
bisa melhat wajahku, tergambar dalam bentuk awan.”
“Emang
kamu pernah melihat wajahku di awan, Vin?”
“Belum.
Kalau kamu pernah melihat wajahku?”
Aku menggeleng. Komik Kungfu Komang aku genggam keras-keras.
Tiga bulan berlalu. Sejak itu aku tidak pernah berjumpa
dengan Bengep lagi, entah dia mati karena umur atau pindah ke perumahan lain.
Mungkin jika aku bertemu, aku bisa berbaik hati untuk menggaruk lehernya,
mungkin tidak dengan tangan, tetapi dengan kaki, mungkin.
Ketika berjalan, aku memandangi langit, melihat kumpulan
awan yang berbentuk macam-macam. Satu awan aku lihat, menyerupai sketsa
seseorang, tersenyum simpul, rambut poni dengan bintik-bintik jerawat pipi, ah itu Viny.
“Yha
kampret. Kenapa disamping awan Viny ada awannya Bengep!”
Fin.
Comments
Post a Comment