“Menjadi buronan lebih menyeramkan..” Ya, itulah sepenggal
kata-kata Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) yang ia gumamkan di tempat
persembunyiannya di Pontianak, Kalimantan Barat. Didalam film Istirahatlah Kata-Kata itu, Wiji –
seperti manusia pada umumnya merasakan takut dan cemas, ketika hidupnya kian
tak menentu tatkala diburu oleh rezim penguasa.
Disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, Istirahatlah Kata-Kata menyajikan sepenggal kisah aktivis cum penyair ketika ia menjadi buronan
Negara pada 1996. Hidupnya yang kala itu dihabiskan dengan berpindah-pindah, selalu
merasa terancam dan was-was, serta rasa rindu dengan istrinya, Sipon (Marissa
Anita) disajikan Anggi dengan tempo lambat dan sunyi.
Pemilihan tempo dan kosongnya musik latar menjadi kepiawaian
Anggi dalam meramu film yang sukses menenggelamkan penonton ke pikiran dan
emosi seorang Wiji. Puisi-puisi yang apik dibacakan dalam bentuk narasi oleh
Gunawan pun menjadi penegas bagaimana terus bekerjanya otak Wiji untuk menciptakan
puisi – bahkan dalam keadaan yang paling sulit sekalipun.
Jadi meskipun terkesan datar, film ini mampu membawa aura
mencekam. Saya sebagai penonton tidak pernah tahu, dibalik siulan Sipon atau
kegiatan minum tuak itu, kapan dan bagaimana Wiji akan ditangkap didalam film, akan
menjadi bayangan yang selalu mengganjal didalam hati. Karena kenyataannya,
sampai hari ini keberadaan Wiji tidak pernah bisa diketahui.
Ada satu adegan yang menurut saya sangat metaforis (maaf
jika spoiler!) dan membekas di hati. Ketika itu Wiji yang tengah pulang kerumahnya
di Solo, mencoba untuk menenangkan Sipon yang menangis dengan memberikan
segelas air minum. Sipon yang masih haus meminta Wiji untuk kembali mengambil
air tersebut, Sipon menunggu, menghadap tirai tempat Wiji mengambil minum yang
tak kunjung terbuka, sampai film berakhir.
Comments
Post a Comment