Skip to main content

Posts

Bersepeda Berdua

Aku akan bilang suka kepada sahabatku sore nanti. Sepulang sekolah, ketika sepeda yang kami naiki melintasi kebun buah naga. Aku akan berteriak sekeras-sekerasnya, atau hanya berbisik saja. Soal itu aku belum yakin. Namanya Gita. Rambutnya pendek, sering kali telinganya terlihat jika rambutnya dihempas angin. Suaranya seperti tanggung jawab, berat. Aku tidak tahu apa yang membuat aku tertarik dengan Gita, selain karena kami memang sudah saling mengenal, bahkan sedari kecil. Ingatan pertamaku tentang dirinya adalah bola plastik. Semasa kecil dulu, aku dan anak-anak laki lainnya rutin bermain bola setiap sore. Kami bermain di tanah kosong dekat perumahan dinas yang hampir semua rumahnya serupa. Rumahku dan teman-teman juga di sana. Catnya putih, resik, jendelanya simetris pada setiap sisi, halamannya luas. Seperti rumah-rumah yang sering aku lihat di dalam cerita bergambar ketika itu. Suatu hari ketika libur Lebaran, ketika lapangan tidak seramai biasanya karena beberapa teman-
Recent posts

Membaca Praktik Petisi Daring

Serial Game of Thrones Senin (20/05) lalu telah berakhir dan sepertinya penonton tidak puas dengan konklusinya. Ketidakpuasan itu ditandai dengan dipetisikannya HBO selaku media yang menyiarkan serial Game of Thrones melalui laman Change.org. Hingga saat ini (27/05), petisi tersebut telah ditandatangani lebih dari 1,5 juta pengguna. Di kolom petisinya, si pembuat petisi menuliskan jika David Benioff dan D.B Weiss tidak kompeten dalam menulis cerita pamungkas ketika buku A Song of Ice and Fire yang menjadi referensi utama belum diselesaikan oleh George R. R. Martin. Dia pun meminta HBO untuk membuat ulang season terakhir tersebut dengan akhir yang “lebih masuk akal”. Saya tidak akan membahas perlu atau tidaknya petisi tersebut dicanangkan, tetapi hal yang ingin saya bahas adalah bagaimana praktik crowdsourcing (urun daya), menjadi tanda jika internet berpotensi untuk mendesentralisasikan informasi demi masyarakat yang lebih liberal dan demokratis. Praktik urun daya sederh

Keluarga Cemara dan Toxic Masculinity (?)

Toxic masculinity , mungkin istilah ini sudah sering bersliweran, baik di dalam perbincangan warung kopi atau di linimasa media sosial sejak awal 2018, hingga sekarang. Istilah populer tersebut dipakai untuk menjelaskan segala stereotip yang membentuk waham laki-laki sejati. Dikatakan jika laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki harus tegas, laki-laki adalah pemimpin, laki-laki tidak boleh memasak di rumah karena itu tugasnya perempuan, dan banyak larangan-larangan lainnya. Kemunculan istilah toxic masculinity ini tentu saja pertanda baik bagi masyarakat Indonesia. Setidaknya melalui istilah tersebut, masyarakat menyadari jika di dalam lingkup ideologi patriarki, bukan hanya kelompok perempuan saja yang dirugikan, namun dalam beberapa kesempatan, laki-laki juga dirugikan oleh hal tersebut. Salah satu korbannya ialah karakter Abah di dalam film Keluarga Cemara garapan Yandy Laurens. Abah adalah karakter rekaan Arswendo Atmowiloto yang dihidupkan kembali oleh sosok Ringgo